Bab 3: Kenalan (3)

91 5 46
                                    

"Kita tidak bisa seenaknya masuk!" seru Viktor sambil terus mengejar langkah Ilya.

Ilya malah makin bersemangat. "Nyahaha~! Kalau mau kasus ini terungkap, maka beranilah mengambil risiko! Berapa jauh lagi, Fionn?"

Meskipun pada awalnya sempat melawan, Fionn pun akhirnya menyerah. "25 meter belok kiri!"

Napas mereka bertiga memburu begitu tiba di depan setapak selebar tujuh meter. Namun berbeda dengan yang dilihat Fionn pada awalnya, suasana sore begitu sepi di tempat itu. Rumah-rumah berbalkon di sana terasa seperti tiada penghuninya. Jangankan pintu, jendela saja tak satu pun yang terbuka.

Rasanya mencekam sekali. Terutama saat angin berembus pelan, menusuk kulit dengan dingin. Sore hari yang gelap seakan sudah menjadi malam. Turut membuat bulu kuduk berdiri.

"Fu fu~ jadi tempat ini rupanya?" komentar Ilya sambil celingak-celinguk.

Viktor cemberut, bukan main kesalnya. "Pertama-tama aku ingin memukulmu, tetapi kuurungkan karena kita sudah sampai sejauh ini."

"Kau butuh semua tenaga itu untuk bertarung!" keluh Ilya kembali.

"Aku hanya butuh sedikit, sisanya digunakan untuk mematahkan lehermu."

"Nyahaha~! Apa kau pikir bisa mengancamku dengan gertakan murahan itu, wahai sang iblis pemburu jantung? Aku akan menghapus eksistensimu dari dunia ini! Camkan itu baik-baik!" Ilya kembali tenggelam dalam fantasinya sendiri.

Raut wajah kesalnya semakin menjadi-jadi. "Sepertinya lebih mudah membawa gajah melewati gunung daripada bicara denganmu."

"Oi! Jangan juga gunakan perbandingan yang jauh!" bentak Ilya yang juga ikut kesal.

Selanjutnya pandangan mata Viktor kembali teralih ke jurusan sempit di hadapannya. Tanpa pikir panjang melangkahkan kaki, masuk ke area yang dipenuhi bangunan kuno berusia ratusan tahun. Sekonyong-konyong Fionn jadi gelisah. Ia kembali terpikirkan akan sesuatu yang buruk, yang pernah hampir merenggut nyawanya dahulu.

"Tidak. Kita tak seharusnya kemari ..." Sekonyong-konyong Fionn berhenti.

"Tidak ada alasan untuk berhenti setelah sampai sejauh ini," jawab Viktor seraya melangkah pergi.

Ilya segera mengikutinya. "Nyahaha~! Jika takut tunggulah di sini!"

Bukannya memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi, Fionn malah terpicu untuk terus bergerak. Sudah pasti ia tak mau dianggap pengecut oleh mereka, meskipun keadaan sebenarnya jauh lebih rumit.

"Eh?! A–aku juga mau ikut!" seru Fionn sambil menyusul mereka.

Perjalanan menyusuri setapak sepi itu berlanjut. Tiga bocah imut perlahan memasuki area yang konon cukup berbahaya di kawasan barat. Semakin lama suasana semakin tidak enak saja. Seperti ada sesuatu yang sedang mengintai dari balik tembok kokoh atau dari dalam gang-gang sempit nan gelap.

"Loji berpintu biru?" Ilya kembali celingak-celinguk sambil berusaha mencari keberadaan penanda yang dimaksud Fionn.

"Aku hanya menyusuri setapak ini ... seingatku beberapa puluh meter lagi lalu belok kiri," jawab Fionn sambil menunjuk ke ujung jalan.

"Apa benar-benar ada loji gangster di tempat ini? Nyah ... kelihatannya tidak ada yang janggal!"

"Eng ... tadi pagi suasananya masih ramai. Sudah tentu orang awam sekalipun tidak menyadarinya. Aku sendiri hanya merekam sedikit."

"Ya. Beginilah kawasan kota tua Reksakarta. Jangan dibandingkan dengan yang di ibukota," ujar Viktor, tak kalah serius sambil mengawasi dua ekor burung merpati yang barusan terbang rendah di atas kepalanya.

Tales of the Endearing DollsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang