Pagi. Kembali dari kegelapan menuju terang benderang. Pagi. Saat bagi setiap makhluk bangun dari tidur panjang. Pagi. Ketika kehidupan terlahir untuk sekali lagi. Sama seperti Kota Reksakarta. Pagi ini ia akan berubah, bertransformasi, menjadi sesuatu yang berbeda.
Inilah perubahan yang sulit diterima sebagian penduduknya. Termasuk Melissa, yang tak bisa tidur sama sekali karena keputusan sepihak dari salah satu orang-orang PBB tersebut. Usai subuh ia mengawal kepergian ayahnya, dokter paling berpengaruh di RSUD.
Tak banyak yang dibawa karena tiada waktu untuk kembali ke rumah dan berkemas. Sehingga hanya ada pakaian seadanya kecuali untuk dinas. Ia bisa minta ke PBB juga nantinya.
Ternyata Rey juga sudah bangung. Bersama-sama mereka mendekati kumpulan manusia di dekat rantis putih. Ada lebih banyak orang yang sibuk sendiri, memasukkan barang ke kendaraan. Tak lama kemudian ibu dari Melissa tiba dan langsung memeluk putrinya.
Dokter Airlangga pun menyadari mereka, kemudian ikut mendekat. Ia sudah siap sejak diberitahu tadi malam. Meskipun masih ada keraguan di pikiran. Terkait nasibnya sebagai dokter setelah ini.
"Kamu boleh benci Ayah." Satu kata itu mengawali pagi yang dingin di pengungsian.
Tak ayal Melissa menelan ludah. Gadis itu sepertinya sudah tak bisa marah lagi. Sudah terlanjur juga untuk menolak. Apalagi melawan perintah yang dibawa organisasi kedokteran tersebut.
"Aku tidak bisa membenci siapapun lagi." Melissa bicara serius. "Sudah banyak kebohongan yang aku dengar–"
Dokter Airlangga langsung menatapnya lekat-lekat. "Ayah tidak bohong!"
Nada bicara gadis itu meninggi. "Ayah meninggalkan kami dan semua pasien yang butuh pertolongan hanya untuk membiarkan orang itu senang!"
Emosinya memuncak. Kini sang dokter hanya diam. Lalu melirik istri dan Rey yang berada di dekat Melissa.
Dokter Airlangga sudah mengambil keputusan yang berat. Bagi mereka itu keputusan seorang pengecut. Mungkin butuh waktu agar putrinya bisa memahami situasi. Yang tak menguntungkan sama sekali.
"Maafkan Ayah." Pria itu langsung memeluk Melissa.
"Tidak!" Sementara si gadis menangis, tak mau ditinggal.
"Masih ada ibumu di sini." Ia lanjut melirik istrinya yang kini ikut berpelukan. "Ayah percaya Rey bisa menjagamu juga."
Pandangannya seketika beralih pada pemuda berkacamata di sebelah. Tampaknya ia bingung harus bicara apa. Ini bukanlah urusan yang harus dicampurinya. Tetapi apa boleh buat jika dokter itu sudah berharap.
Sekarang Rey mengangguk setuju. Pria di hadapannya ikut membalas. Lalu mengecup kening istri dan anaknya seraya melepas dekapan. Ini adalah perpisahan yang berat. Sungguh berat dan tiba-tiba.
Kemudian dokter itu berlalu menuju rantis. Tak lupa memberi salam terakhir. Yang ternyata mampu membuat Melissa bisa tersenyum walau sedikit.
Dari rombongan itu juga ada Hendrik dan Clara. Mereka baru saja berpamitan dengan Letda Bagas lalu menuju Melissa dan Rey.
"Pekerjaan kami selesai sampai di sini." Hendrik yang pertama kali berucap sambil menggaruk kepala.
Clara ikut menyahut tak lama kemudian, "senang bekerja bersama Anda sekalian, Tuan Halim dan Nona Margoyono."
Dua orang yang dimaksud pun mengangguk, tanda setuju. Selanjutnya tiada basa basi. Mereka tak mau membuang waktu dan langsung masuk ke kendaraan bertuliskan 'UN' itu.
Letda Bagas akhirnya ikut mendekati mereka setelah sekian lama. "Penyidik PBB itu dan Anna Runam telah mendapat informasi yang dicari. Mereka harap gak akan berurusan lagi sama si topeng rusa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales of the Endearing Dolls
Misteri / ThrillerPada hari kelabu di bulan Agustus, Viktor menerima surel dari seorang kenalan sebayanya di dunia maya. Bocah asal Jerman itu diajak untuk saling sapa secara langsung dengan Ilya, setelah sekian lama hanya bersua lewat gim daring populer 'Eternal Sou...