Tak terasa ia sudah duduk seharian di situ dengan tangan yang sibuk menulis sesuatu di atas secarik kertas putih. Pada sekeliling kamar jarum pendulum telah bertengger di angka dua. Sedangkan ventilasi juga sudah meneruskan cahaya mentari yang masuk. Ruangan yang semula gelap beberapa jam lalu, kini telah terang benderang.
Mata merah tersebut lantas teralihkan ke arah sinar yang menyeruak di belakang sana. Mungkin baginya sudah terlalu lama untuk menyendiri. Maka ia pun menenggak secangkir kopi dingin di meja belajar, lalu berdiri dan menutup tirai jendela yang mana juga menutup ventilasi tadi.
Tak berapa lama suara surel masuk tiba-tiba terdengar. Perhatian anak itu kembali teralihkan pada layar komputer LCD di seberang kasur. Segera ia mendekat untuk memastikannya. Surel yang belum dibaca itu tertambat pada notifikasi di sudut layar. Saat diklik muncul tampilan web berwarna merah.
Surel barusan sudah tertaut di urutan teratas, siap dibaca. Sementara itu beberapa lagi dengan pengirim yang sama juga termuat di bawahnya.
Raut wajah anak itu yang datar, kini berubah jadi cemberut. Ia segera menekan tetikus. Meskipun enggan, tetap saja harus dibaca.
'Café de Chérie?' Ia heran ketika membaca tulisan Prancis itu, setelahnya lanjut melirik nama pengirim surel. 'Siapa kau sebenarnya?'
Sementara itu, seseorang dari luar sudah di muka pintu kamarnya sambil mengetuk. Hanya dua kali saja namun anak itu sudah mengetahui maksud kedatangan itu. Lantas segera menjauh dari meja komputer, kemudian melintasi ruangan dan kembali ke meja belajar.
Dari dalam laci di sana ia mengambil sarung tangan, sebilah belati, dan pistol kaliber 5,7 milimeter. Kemudian mengambil jubah dari gantungan dekat dinding, mengenakannya sebelum menuju pintu.
Di seberang, orang yang mengetuk tadi adalah pria berambut lurus dengan pakaian formal. Namun bukan seperti pakaian formal yang biasa dikenakan ke acara penting, melainkan seperti pakaian seorang pelayan. Tak lupa ia menyempatkan diri untuk merapikan kerah kemeja.
Begitu pintu dibuka orang itu langsung menyapa penghuni kamar tersebut, "Selamat siang, Tuan Muda–eh?"
Ia agak kaget begitu menyaksikan penampilan anak itu. Muka masam seperti rasa buah yang belum ranum, tak seperti yang biasa orang itu saksikan.
"Eng ... apa Anda baru bangun tidur? K–kalau begitu ... saya minta maaf sebesar-besarnya!" ucapnya sambil membungkukkan badan.
"Kenapa kau mengetuk pintu kamarku, Tuan Wagiyo?" Tatapannya serius.
"Hueh?!" Justru pria yang bernama Wagiyo itu malah kaget. "T–tentu saja sebagai pengawal saya bertanggung jawab untuk memeriksa keadaan Anda secara berkala."
"Dengan mengganggu waktu istirahatku? Oh. Seharusnya kau sudah dibebastugaskan sekarang," ucapnya sambil berlalu menuju tangga, tak peduli sama sekali.
Sebuah kesalahan telah mengetuk pintu, pikir pria tadi. Namun entah mengapa langkah panjang malah ia ambil demi menyusul anak yang kini sudah menuruni tangga. Padahal tindakan itu bisa dibilang cukup tidak sopan.
"Eh?! Tapi ini perintah dari Tuan Schwarzergrat! Kumohon dengarkan saya dulu!" seru Wagiyo sambil terus mengikuti langkah sosok di depannya.
Anak itu masih lanjut berjalan menjauh. "Memangnya di mana dia?"
"Beliau baru saja pergi."
"Ke mana?"
"Beliau tidak bilang. Mungkin saja kembali ke rumah sakit."
Begitu tiba di bawah, muncul sosok lain yang menghentikan langkah mereka. Ia seorang pria jangkung lengkap dengan poni yang sampai menutupi kedua mata. Beberapa orang pasti akan ketakutan begitu melihat tampangnya. Kaku lagi misterius seperti penjahat kelas wahid di film detektif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales of the Endearing Dolls
Mystery / ThrillerPada hari kelabu di bulan Agustus, Viktor menerima surel dari seorang kenalan sebayanya di dunia maya. Bocah asal Jerman itu diajak untuk saling sapa secara langsung dengan Ilya, setelah sekian lama hanya bersua lewat gim daring populer 'Eternal Sou...