Bab 31: Sebuah Dunia yang Berubah (1)

8 0 0
                                    

Markas komando di Posko Watunggal telah menerima pesan radio dari Letda Bagas. Tanpa berlama-lama, Mayor yang sedang bertugas memimpin rapat darurat. Saat itu perwira tinggi lain baru datang dari markas kewilayahan di Jawa Tengah bersama pasukan gabungan yang masih dari perjalanan. Lebih banyak kekuatan untuk menghadapi teror yang lebih besar.

Segera kompi-kompi eksisting dipersiapkan untuk bergerak. Mereka tak mau ketinggalan dalam pertempuran selanjutnya. Tepat di tengah kota terbengkalai di mana rekan-rekan lain sedang berjuang sendiri di antara hidup dan mati.

Gibran terlihat sendirian di luar. Pergerakan masif tersebut menarik perhatiannya. Tak berselang lama ia dipanggil seorang bertopeng segilima untuk masuk ke tenda. Di dalam para dokter masih sibuk merawat pasien kritis. Meskipun mereka sudah divonis hidup kembali, tetap ada prosedur darurat yang harus dipenuhi sampai semua stabil. Tabung oksigen secara bergantian keluar masuk sesuai arahan Dokter Saga di sana.

Itu semua selagi walikota menandatangani keputusannya. Terlalu cepat tidak akan baik bagi petugas RSUD tersebut. Namun berbeda dengan yang dirasakan pria jangkung tadi. Orang-orang dari pusat mungkin merupakan pribadi yang tak sabaran sehingga bisa jadi mereka akan datang sendiri. Lalu Gibran akan dianggap sebagai pegawai yang lamban, tidak efisien, dan malas.

Tentu saja itu hanya kemungkinan terburuk karena mereka harusnya sudah tahu soal apa yang terjadi di kota. Justru Gibran punya seribu alibi untuk membungkam para petinggi. Ia tidak sebodoh yang mereka kira. Apalagi jika sudah melihat langsung bagaimana kemampuannya untuk memaksa walikota bertindak cepat di tengah kekacauan.

Di saat dirinya termenung, Rey tiba-tiba masuk. Tampaknya pemuda itu hendak mencari Melissa di antara para petugas. Mudah saja karena ia sedang duduk di kursi plastik, menatap para pasien dari luar terpal.

"Aku bertemu Monsieur Mercalme tadi. Dia mabuk berat. Sudah beberapa lama sejak Louis menghilang ...."

Melissa diam saja. Matanya tak berhenti menatap ruangan lebih dalam.

"Jam enam nanti kami pergi. Aku yakin Louis masih terjebak di kota."

Seketika gadis itu terkejut sambil menggelengkan kepala. "Tidak lagi!"

"Harus! Kali ini kau tetap di sini dan menjaga mereka ...adik-adikmu!"

Gadis itu merasa sangsi. Sedangkan Rey malah pamer sabuk militer yang dipakainya. Ada sekotak magasin terisi penuh.

"Aku sudah menjadi prajurit! Sudah kewajibanku untuk bertarung!"

Kelihatannya belum cukup agar Melissa memberi izin. Gadis itu hanya menghela napas sejenak. Pertimbangan kali ini cukup berat.

Tetapi Melissa tahu bahwa Rey lebih kuat daripada yang ia kira.

"Harus kembali hidup-hidup! Jika tidak ..." Melissa seketika melirik sosok cilik di atas kasur putih. "... mereka akan membencimu selamanya!"

Jawaban tadi sudah cukup bagi Rey. Tanpa berlama-lama pemuda itu langsung pergi. Sementara Melissa kembali diam sampai sosok lainnya datang. Barusan menyelesaikan urusan berat di dalam.

"Dia sudah pamit ke Ayah tadi. Kamu masih bisa menolak padahal." Jas putihnya dikibaskan sebelum duduk di kursi yang dibawakan seorang perawat.

Dokter Airlangga rupanya masih punya waktu untuk putrinya. Meskipun saat ini sedang diawasi secara ketat oleh orang-orang PBB.

"Itu pilihannya, Ayah. Tindakan yang mulia."

Saat mereka asyik berbincang, Gibran tiba-tiba masuk. Ia celingak-celinguk beberapa saat sambil memanggil seorang perawat di dalam. Mereka berbicara sebentar sebelum akhirnya menjauh. Lalu pandangan teralihkan pada seorang dokter di samping Melissa.

Tales of the Endearing DollsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang