Seisi kota telah bersemuka dengan gelap nan dingin. Di sana beberapa orang berlarian tak karuan. Bukan mencoba lolos dari makhluk-makhluk aneh yang banyak mengejar, melainkan karena sedang beradu dengan waktu. Tujuannya yakni sebuah rumah sakit bertingkat. Dijaga banyak orang bersenjata lengkap yang senantiasa siap siaga. Sepertinya tempat itu telah menjadi lokasi pengungsian bagi warga yang dilanda teror.
Tetapi mereka sudah kehilangan minat tak lama kemudian. Sudah terlalu letih untuk melanjutkan padahal jaraknya tinggal beberapa ratus meter lagi. Tak lama kemudian gema megafon sudah terdengar, begitu memekakkan telinga dari jarak itu.
Salah satunya tetap menunduk pada bangunan di hadapan. Napas terengah-engah dengan keringat mengucur dari kening. Berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri meskipun nyeri sudah melanda seluruh telapak kakinya.
Evren tanpa sadar larut dalam redum. Diam saja di sana.
Sementara Fionn mengajaknya bicara. "Aku yakin Kak Melissa–"
Lalu berubah, menggeram seperti binatang buas. Di saat itu juga salah satu temannya yang mengenakan topi bonnet mundur perlahan, takut jika terkena pelampiasan.
"Jangan sok tau! Setelah apa yang terjadi pada penduduk kota di sana, kau berani bilang tak akan terjadi apa-apa padanya?!"
Ilya yang hampir kehabisan tenaga pun mendekat, mendorong Evren dari Fionn.
"Nyah! Kembali saja sendiri kalau mau! Masih untung familiar brengsek itu sudah aku beri pelajaran!"
"Berisik!"
Teriakannya membelah malam yang mencekam. Ilya tak membalas lagi karena tahu tubuhnya sudah hampir mencapai batas. Sedangkan Fionn tetap diam sambil menunduk.
"Kita tidak tahu apa-apa soal dunianya! Aku juga tidak mau bertaruh demi kemungkinan apa pun!"
"Tidak ada yang akan bertaruh!" tukas Ilya. "Kali ini adalah ronde ketiga dan terakhir kalinya badut itu bicara."
Ucapan yang penuh semangat seperti biasa. Namun tak dapat dipungkiri tubuh itu menolak keinginannya. Jika saja Fionn tidak cepat tanggap, mungkin Ilya sudah membentur aspal.
"Jangan memaksakan diri, Ilya. Sebelum itu ... Kak Rey harus tahu yang sebenarnya terjadi."
Evren lantas memalingkan wajah. Ditatapnya gedung berlampu sorot itu. Ia berharap pemuda di atas sana bisa memahami kesulitan yang mereka alami. Paling tidak sanggup menunggu lebih lama untuk membawa pulang Melissa.
Setelah ketiganya membereskan perlengkapan, segera menuju barikade di ujung sana. Kebetulan sekali sedang ada pembagian makanan untuk para pengungsi. Tanpa pikir panjang Ilya diserahkan jatah kedua temannya demi mengisi ulang energi yang telah dihabiskan. Kemudian mereka naik menuju kamar di mana Rey beristirahat.
Kemelut memenuhi seisi koridor. Banyak perawat maupun tentara yang lalu lalang sepanjang jalan yang mereka lalui. Menjadikan tempat itu tak ubahnya seperti dapur umum. Saat itu, Fionn merasakan pening di kepalanya sebagai efek penyakit mental yang ia derita. Ia bisa saja histeris di tempat namun Ilya seketika memegangi tangannya. Sebagai pencegahan juga agar tidak terpisah dalam kerumunan.
Rey terkejut bukan main saat itu. Tetapi ekspresinya berubah total tatkala melihat hanya ada tiga orang yang kembali.
"Melissa di mana?"
Ketiganya tak mampu menjawab pertanyaan mudah itu. Sungguh disesalkan baginya.
"Tidak perlu mengatakannya. Aku tahu usaha kalian gagal ... sama seperti terakhir kalinya."
Lantas Evren maju mendekati kasurnya. "Aku yang bertanggung jawab di sini–"
Tiba-tiba Rey menamparnya. Fionn dan Ilya tentu saja kaget bukan main. Tak biasanya Rey memasang ekspresi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales of the Endearing Dolls
Mystery / ThrillerPada hari kelabu di bulan Agustus, Viktor menerima surel dari seorang kenalan sebayanya di dunia maya. Bocah asal Jerman itu diajak untuk saling sapa secara langsung dengan Ilya, setelah sekian lama hanya bersua lewat gim daring populer 'Eternal Sou...