Bab 9: Jalan yang Kuambil (2)

40 2 7
                                    

"Tak disangka semangatmu masih ada! Jelas kau masih hidup setelah sekian banyak percobaan pembunuhan yang kami kirimkan. Dan sekarang adalah yang terakhir bagimu!"

Kepalan tangannya tiba-tiba diayunkan. Begitu kuat hingga tak terasa sudah menerjang wajah orang itu dengan sangat telak di muka. Membuat wajah tersebut bonyok dan berdarah di mana-mana. Sekonyong-konyong gerombolan di sekelilingnya mengangkat senjata api. Desingan peluru pun keluar dari moncong berbagai ukuran.

Aria langsung menghunus parang yang ia bawa. Sekali saja sambil menunduk ke kanan. Targetnya adalah membuat kepanikan dengan serangan kilat yang bisa merusak barisan mereka.

"Argghhh!"

Ia menebas tubuh salah seorang. Akibatnya seluruh gangster di sana mulai tidak bisa memfokuskan tembakan. Beberapa kali meleset dan malah melukai kawan mereka sendiri. Karena itu, mereka beralih menggunakan senjata jarak dekat.

Namun bagi Aria itu perkara yang mudah. Ia masih bisa menebas mereka semua meskipun dikepung dari mana-mana. Berkat kelincahan pastinya. Parang itu jadi terasa ringan hingga mampu melukai banyak orang sekaligus. Cukup efektif untuk menumbangkan ancaman.

Selanjutnya target di belakang anak itu. Mereka kembali menyerang secara membabi buta. Aria tak kehabisan akal dengan men-tackle yang terdepan. Lanjut menebas beberapa sekaligus. Tak lupa bermanuver dengan melompat ke kerumunan yang baru tiba.

Semua tak luput dari tembakan. Satu per satu tewas bersimbah darah. Sisanya masih mencoba mengejar anak itu yang mana terlalu cepat bagi mereka. Pertarungan tersebut berubah layaknya sirkus dengan para gangster yang menjadi pemainnya. Tidak berasalan, mereka dibuat bodoh oleh aksi Aria yang bisa berpindah-pindah di antara bayangan.

Keadaan kacau balau itu dimanfaatkan dengan baik. Sekarang tak kurang dari dua puluh menit belasan jiwa melayang. Serangannya begitu cepat, hampir setara angin. Sekali tebas maka korbannya tidak mendapat kesempatan untuk bangkit kembali. Dan beberapa saat kemudian formasi besar mereka hancur lebur. Berganti tumpukan mayat yang tenggalam dalam darah.

Namun Aria masih terus bergerak, tanpa ampun menghabisi. Semua dibantai begitu mudah layaknya memotong roti. Kini sudah puluhan yang tewas, menyusul belasan lainnya sebagai gelombang ketiga. Sudah bisa ditebak bagaimana hasilnya, mereka ikut binasa.

"Bajingan! Dia membunuh semua orang–"

Ketua gerombolan yang barusan dihajar Aria pun bergidik ngeri. Terlebih saat salah satu anggota yang berdiri sejajar dengannya tiba-tiba tewas dengan leher tertusuk mata pisau. Dalam hitungan detik yang lain juga bernasib sama. Lantas sisanya menyusun formasi terakhir. Tinggal beberapa orang saja di situ. Yaitu sang ketua sendiri beserta delapan orang pengawalnya.

Bercak merah di pakaian bocah itu sudah semakin tebal saat ia berhenti usai membunuh yang terakhir. Sekarang dirinya ganti menatap target lain.

"Jangan diam saja!"

Pengawalnya langsung memberondong peluru tajam. Ditembaki tanpa ampun hingga seisi jalanan jadi terang benderang karena kilatan dari laras pendek. Tak gentar sedikit pun, Aria justru berusaha keras untuk bisa menghindari semuanya dengan cepat. Padahal tidak ada manusia yang sanggup berpaling dari terjangan peluru sebanyak itu. Kecuali memang ia sendiri. Sanggup meski terkena beberapa butir.

Saat peluru mereka habis, inilah kesempatan emas bagi bocah itu. Luka di sekujur tubuh tak jadi penghalang untuk melompat sambil mengayunkan senjata. Mata ungu itu berpendar, seperti monster yang hendak memangsa dengan penuh nafsu.

Satu pengawalnya langsung tewas. Lalu ia melompat dan menebas lagi. Selanjutnya menendang salah satunya hingga terhempas jauh. Tak lupa mengambil pistol dan menembaki sisanya. Dari delapan orang tersebut tinggal setengahnya yang tersisa. Mereka pun semakin rapat untuk melindungi sang ketua.

Tales of the Endearing DollsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang