Jarum suntik menusuk selang infus. Lantas cairan bening mengalir pada urat-urat besar pada telapak tangannya. Perawat datang dan pergi silih berganti melakukan semua itu. Sembari menunggu ada tanda-tanda kesadaran.
Tepat dua jam kemudian, seorang dokter memasuki tenda darurat tersebut. Ia menemukan sebuah kedipan di mata. Lalu memanggil seorang perawat, yang mana segera berlari keluar. Tak berapa lama hadir seorang pria berpakaian seragam loreng.
Rupanya pemuda itu telah siuman. Perlahan namun pasti pandangannya semakin jelas. Serta memori sebelumnya, yang tak mungkin hilang dari ingatan.
Melihat keberadaan orang-orang itu, ia diam saja. Hanya menyimak pembuka pembicaraan di pagi ini.
"Azril Reynaldo Halim, kami menemukanmu di reruntuhan 18 jam lalu. Kota sangat kacau. Pemerintah menetapkan status gawat darurat hingga waktu yang belum ditentukan."
Ia selamat dari pertarungan di dalam dunia ilusi. Walaupun berakhir di tempat seperti itu. Dengan kasur putih serta berbagai macam instrumen penunjang kehidupan di sekeliling.
"Aku masih hidup ...." Ia akhirnya menyadarinya, namun saat hendak duduk mendadak tangan kiri terasa nyeri. "Shh ...."
"Cuma retak kecil tapi gak fatal. Harap hati-hati!" Prajurit di depannya melipat kedua tangan.
Rey langsung menyadari siapa sebenarnya orang tersebut. Letda Bagas.
"Anda tentara yang waktu itu!"
"Saya sudah menduga kita akan bertemu kembali." Pria berbadan kekar tadi mengambil kursi, lalu duduk di samping kasur.
"Di mana ini?"
"Posko Watunggal."
Rey hanya bisa melirik keseluruhan tenda untuk merangkai kembali sinapsis di otaknya. Lalu dirinya terkesiap pada pilinan pita di atas lemari kaca. Seketika teringat sesuatu yang penting.
"Tunggu ... bagaimana dengan–"
Rey pun senyap seraya menatap beberapa sosok yang barusan masuk ke tenda. Ada pria kulit putih berambut pirang bak pejabat multinasional. Lalu turut hadir seorang wanita berkemeja putih yang membawa laptop. Berdiri tepat di sampingnya, mungkin seorang asisten atau kolega kerja. Yang jelas mereka menjumpai Rey berbekal tatapan serius.
"Siapa?"
Memang seperti tampang dosen-dosen di perguruan tinggi tempatnya menimba ilmu. Hanya saja untuk yang satu ini ia memang belum pernah melihat mereka, apalagi bertemu. Sama sekali canggung bagi mahasiswa sepertinya yang terbiasa sendiri.
"Sebelumnya, mereka penyidik dari PBB." Letda Bagas lantas berdiri seraya memperkenalkan keduanya.
"PBB?"
Si pria mengambil napas sebelum berujar sejenak.
"Maaf sudah datang tiba-tiba di saat kondisi Anda sedang buruk. Saya Hendrik Ströl dan dia Clara Martin."
Kemudian si wanita ikut bicara. Tanpa basa-basi.
"Kami perlu mengetahui apa yang terjadi di hari itu dan hari-hari selanjutnya. Anda punya kapasitas untuk menjawabnya."
Tentu saja Rey terdiam. Lanjut menatap keduanya dengan muka tak kalah serius. Bayangkan saja dua orang perwakilan badan dunia datang di saat kota sedang kacau. Punya maksud tak kalah janggal juga. Apa lagi Letda Bagas di samping mereka enggan memberikan keterangan apa pun. Seperti sudah mengetahui ada udang di balik batu. Tetapi setuju untuk terlibat dalam permainan dan membiarkan Rey mengetahui jawabannya sendiri.
"Mohon maaf ... saya benar-benar tidak mengerti maksud kalian. Mungkin kalian mencari orang yang salah."
Ekspresi keduanya tetap sama. Kali ini Rey mengerti mereka tidak main-main.
"Tidak." Hendrik yang pertama kali menjawab. "Anda orang yang hadir di saat kejadian."
Diteruskan oleh Clara. Dengan intonasi yang sedikit memelas.
"Memang waktunya tidak tepat ... tapi kami benar-benar butuh bantuan Anda."
"Tolong jelaskan secara rinci ..." Rey mulai kebingungan.
Hendrik seketika memberi aba-aba pada Clara. Laptop yang dibawa menyala. Di sana terdapat sebuah animasi lingkaran aneh. Berwarna campuran ungu dan biru. Berputar berlawanan arah jarum jam.
"Kejadian sebelumnya Anda melihat sendiri bagaimana singularitas itu bekerja. Atau dalam bahasa awam, portal ke dunia lain."
Sekarang barulah ia mengerti. Secara bersamaan turut merasa takut. Barangkali mereka ini memang sedang menginterogasi Rey.
"Lalu Anda telah berinteraksi dengan mereka." Clara ganti menggeser kursor ke kiri, memperlihatkan siluet anak kecil dengan banyak tulisan terstruktur.
"Siapa?" Ia curiga.
"Homo formosus." Hendrik makin mendekat. "Bocah-bocah yang Anda temui belakangan ini adalah kuncinya."
"Demi umat manusia," ujar Clara sebagai penutup.
Semakin banyak yang dilihat semakin banyak pula yang Rey tidak ketahui. Layaknya pintu air, semua itu terbuka di hadapannya. Menjadi air bah yang menenggelamkan pikiran. Dalam tanggung jawab besar yang belum pernah ia emban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales of the Endearing Dolls
Mystery / ThrillerPada hari kelabu di bulan Agustus, Viktor menerima surel dari seorang kenalan sebayanya di dunia maya. Bocah asal Jerman itu diajak untuk saling sapa secara langsung dengan Ilya, setelah sekian lama hanya bersua lewat gim daring populer 'Eternal Sou...