Bab 4: Teriakan

70 3 0
                                    

Pagi berawan. Gelap memenuhi seluruh penjuru kota. Namun tidak menyurutkan Viktor dan teman-teman barunya. Ada yang harus dibahas secara langsung dan semalam mereka sudah sepakat untuk bertemu di taman. Selain soal rencana penyelidikan ia juga harus mencari tahu siapa sebenarnya dua orang yang menyerangnya. Apakah mungkin mereka punya hubungan dengan sindikat di kota?

Ia tak mau ambil kesimpulan terlalu dini. Sementara itu lebih baik untuk mengkhawatirkan kondisi fisiknya. Bahkan Wagiyo terlihat sangat cemas, sudah tentu. Sebenarnya pemuda itu tidak berkenan Viktor berkeliaran sendiri di luar sana dengan tubuh penuh luka. Namun apa boleh buat jika anak majikannya telah bersabda.

"Apa Anda yakin, Tuanku?" tanya Wagiyo, memecah keheningan di kabin tersebut.

"Aku sudah punya janji dengan mereka. Lagi pula, ini hanya luka kecil," jawab Viktor seraya memeriksa perban di perutnya. "Dalam tiga hari bekasnya pasti sudah hilang."

"Apa perlu melapor pada polisi?"

"Tidak perlu," jawabnya pelan, memperlihatkan keangkuhan.

Wagiyo lantas memarahinya. "Saya mengkhawatirkan keadaan Anda! Jika Tuan Schwarzergrat sampai tahu–"

"Aku tidak peduli apa katanya."

"Tapi–"

Viktor makin geram dibuatnya. "Mulai sekarang jangan bahas itu lagi."

Lantas Wagiyo hanya bisa diam karena tak punya pilihan lain. Lebih baik begitu daripada sifat keras kepalanya kambuh. Tetapi janji tetaplah janji. Mereka sudah sepakat untuk merahasiakan ini dari sang pemilik rumah.

Mobil pabrikan Jerman tersebut berhenti di parkiran setelah perjalanan singkat. Tampak Wagiyo menghela napas sambil meregangkan tubuh. Kedua tangannya dijauhkan dari kemudi lalu melepas sabuk pengaman. Sekali lagi ia coba memeriksa keadaan penumpang di belakang. Anak itu masih cemberut.

"Maafkan saya, Tuan ...."

Viktor diam saja, tak mau ambil pusing dengan perdebatan yang sia-sia tadi. Segera anak itu membuka pintu kendaraan, melupakannya begitu saja dan bergegas turun tanpa mengucap sepatah kata pun.

Area taman cukup berbeda hari itu. Cahaya dari langit pun berangsur hirap, juga terlupakan oleh hiruk pikuk di permulaan hari. Senin yang banyak dibenci orang-orang terlepas dari pekerjaan mereka.

"Ramai."

Namun orang-orang di sana tidak terlihat sebagai pegawai kantoran yang berusia tiga puluh tahun ke atas, seperti yang ia kira sebelumnya. Justru hampir semua adalah remaja yang umurnya berkisar antara tujuh belas hingga dua puluh lima tahun.

"Terlalu ramai. Wagiyo, apa kau bisa usir mereka?" tanya Viktor setelah melihat gazebo di sana yang sudah sarat akan manusia.

Pengawalnya pun terkejut. "Eh? Tentu ... tidak bisa begitu!"

"Sayang sekali ...."

Wagiyo lantas mohon pamit padanya untuk menunggu di parkiran. Kini tinggal Viktor sendiri di sana, di antara manusia yang lalu lalang sambil memandang aneh. Saat berpapasan, sesekali mereka melongo pada Viktor bak melihat makhluk asing yang baru turun ke bumi. Sisanya diam-diam memotret dari gazebo. Tentu saja perlakuan itu membuatnya tak nyaman.

'Kenapa dengan manusia di sini?'

Untung saja tak perlu lebih lama untuk menunggu yang lain. Dari kejauhan rupanya Ilya sudah tiba. Bocah itu melambaikan tangan padanya kemudian mendekat.

"Nyahaha~! Pagi yang cerah bukan, wahai iblis pemakan jantung?"

Sekonyong-konyong Viktor menghunus belati. "Sudah kubilang jangan sebut aku begitu.

Tales of the Endearing DollsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang