38 : Fake Boy

1.3K 65 3
                                    

Happy reading

38 : Brengsek

Malam harinya Moza lantas bergegas menunggu Agra di kamar lelaki itu setelah di izinkan oleh Mama Lina, Agra sendiri pulang setelah tadi pergi lagi setelah isya untuk latihan atau mungkin gladi sebelum tiga hari lagi memulai turnamen.

Agra tak membawa ponselnya beruntung ia bisa membuka ponsel Agra dengan leluasa karna memang Agra tidak pernah melarangnya untuk membuka ponsel miliknya itu. Moza menscroll chat di aplikasi berwarna hijau dan membuka kolom chatting dengan nama 'Shiren' yang tertera paling atas dan disematkan diatas sebelum akhirnya Moza berada di sematan ke dua.

Shiren : Gra makasih udah mampir

Agra : santai ren

Shiren : besok temenin aku lagi bisa?

Agra : Gue usahain

Shiren : lupain moza gra, gue cemburu.

Agra : hm

Moza hendak menscroll kebawah lagi namun terhenti saat tangan kekar seseorang mengambil paksa ponsel tersebut, Moza mendongak dan melihat Agra yang menyimpan kembali rapih ponselnya kedalam saku jaket jeansnya.

Agra bersedekap dada lantas memandang Moza dengan tajam, untuk ukuran privasi akhir-akhir ini Agra selalu enggan berbagi kepada Moza."Gak seharusnya lo masuk kamar cowo tanpa izin dan megang ponselnya gitu aja." peringatannya

Moza menaikan salah satu alisnya lantas memandang Agra remeh, "Lo sendiri yang dulu ngizinin gue sesuka hati kesini dan melakukan apapun."

"Dan sekarang gue harap lo gak ngelakuin itu lagi, lo bukan siapa-siapa gue lagi."

"Gue ngerti, yang gak gue ngerti kalo lo gak mau gue sama lo kenapa lo ngelarang gue sama yg lain?"

"Karna mereka gak pantas."

"Terus yang pantas siapa? Elo?" Moza berdiri sembari menunjuk Agra diiringi dengan pertanyaan diakhir kalimatnya.

Moza bersenang hati datang kesini bukan karna apa-apa dia sengaja ingin berbicara baik-baik dengan Agra, ia ingin menyelesaikan semuanya tapi lagi-lagi apa? Agra selalu mempersulit segalanya.

Agra mengangguk percaya diri, "Gue."

Moza menarik nafas kasar lantas keluar dari kamar Agra, gadis itu membanting pintu pintu cukup keras ia kesal dengan sikap lelaki dihadapannya tadi. Jika selalu seperti ini sudah jelas bukan dia yang egois tapi Agra yang selalu egois akan segala hal.

Moza kembali kerumah tanpa mengucapkan salam dan bergegas langsung menuju ke lantai atas kamarnya menghiraukan segala pertanyaan yang terlontar dari Bunda atau pun Ayah, menutup pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat lalu meluapkan serta melampiaskan emosinya pada guling dan boneka-boneka sekitar yang di lempar sembarang arah tanpa ampun.

Merasa dirinya cukup baik ia memilih menenggelamkan badannya diantara balutan selimut lantas berusaha memejamkan matanya, sampai akhirnya tersadar lampu kamar belum mati kemudian bangkit perlahan dan mematikan segala macam lampu di ruangan berantakan ini kemudian kembali untuk berusaha tertidur.

Pintu diketuk lebih dari tiga kali dari luar---suaranya nyaring keras hampir sama dengan volume televisi yang sedang di tonton bunda tadi di ruang tamu. Merasa tidak ada jawaban pintu akhirnya terbuka dan menampilkan Ayah yang sedang menyalakan lampu kamar sampai akhirnya menyala remang-remang.

Ayah duduk di dekat kepala kasur sambil mengusap surai hitam legam milik putrinya, Moza tak bergeming sedikitpun memilih melancar kan akting pura-pura tertidur agar Ayah segera mungkin keluar dari kamar. Tapi malah sebaliknya Ayah bertahan lama di tepi kasur masih dengan posisi yang sama mengusap puncak surai pendek milik Moza.

Salah Mantan (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang