hal yang paling menyeramkan

16 0 0
                                    

Bagi beberapa orang, melihat bagaimana orang yang tersayang meninggalkan bumi secara perlahan itu menyakitkan. Lebih dari rasa sakit yang pernah ia alami. Bahkan mungkin--hanya mungkin--jika api neraka tidaklah sesakit itu rasanya.

Tapi pernahkan berpikir akan ada orang yang sudah melihat perjalanan sebelum orang yang kita sayang itu meninggal? Kalian mungkin tidak percaya, tapi itu nyata, itu ada. Orang-orang seperti yang disebutkan itu ada.

Jika boleh bercerita--

--Seperti di sore hari itu, di mana Mamah tiba-tiba tidak mampu berbicara. Layaknya orang penderita stroke total, tidak bisa bergerak, dan sekadar berbicara dengan mata pun tidak bisa. Bahkan kurasa, mugkin Mamah sudah tak mampu mendengar kita.

Awalnya kukira itu hanya hal biasa. Doa terus kupanjatkan agar setelah masa stroke ini, Mamah bisa sehat. Selalu kupanjatkan doa seperti itu, tidak pernah absen sekalipun. Sampai akhirnya, pada malam itu, ada perasaan aneh yang singgah di dada.

Yang pertama kali kulakukan adalah bertanya ke teman, melalui ponsel yang kupunya, memberikan foto kondisi Mamah yang sekadang padanya lalu menunggu. Terus menunggu tanpa mau keluar dari ruang obrolan. Sengaja kulakukan itu agar aku tahu kapan dia akan membacanya dan kapan dia akan membalas. Detik berikutnya, pesanku dibaca lalu aku berharap mendapat balasan yang berupa sebuah kabar baik. Tapi nyatanya, tidak. Ia bahkan tidak menjawab sama sekali pesanku. Yang berakhir aku memikirkan kemungkinan satu hal.

Malam itu, doa yang kupanjatkan sedikit berbeda. Doaku adalah :

"Ya, Tuhan. Jika Engkau menghendaki Mamah sembuh, maka tolong angkat penyakit Mamah agar kami bisa bermain seperti dahulu kala lagi. Tapi jika Engkau tidak menghendakinya, maka hamba mohon untuk memanggilnya sekarang karena hamba tidak kuat melihat kondisi Mamah yang seperti tersiksa."

Doa itu kupanjatkan bersamaan dengan sholat yang kujalani terakhir kali di hari itu. Setelah berdoa, ada bisikan yang menyuruhku untuk merelakan Mamah dan ikhlas dengan keadaan. Ada perasaan lega dan berpikir--lagi--bahwa Mamah sudah tidak lagi merasakan rasa sakit yang dideritanya sejak bulan Juli 2020.

Tapi semua bisikan dan pikiran itu kusingkirkan jauh-jauh. Istilahnya ada orang yang berbicara di sampingku, aku hanya menutup telinga dengan kedua tangan secara erat-erat lalu menjauh darinya. Karena kala itu, aku masih percaya pada setitik harapan.
Sebuah harapan bahwa Mamah mungkin masih hidup dan kembali sehat secara perlahan.
Sebuah harapan kecil yang kuharap dikabulkan oleh Tuhan.

Dan kenyataannya, Tuhan lebih sayang Mamah. Seolah menyuruhku untuk tetap mendoakannya dan mengikhlaskan semuanya agar beliau tenang di sisi-Nya.--

Atau

--Seperti malam sebelum keberangkatan Mamah ke kota tempatku terlahir. Kali ini Papah yang merasakannya. Papah sudah merasakan sesuatu yang aneh, namun sama sepertiku, ia tetap berpikiran positif bahwa istrinya tetap bisa sembuh dan apa yang dirasakannya hanya angin lewat saja.

Begitu sampai di rumah sakit yang tersedia, Mamah perlu di isolasi dan harus swab dua kali yang hasilnya harus negatif baru Mamah mendapat kamar di gedung khusus penderita kanker. Kebetulan saat itu akulah yang menemani Mamah selama tiga hari dua malam di ruang isolasi. Aku yang menemaninya juga tidak bisa keluar dan boleh keluar saat pasien dinyatakan bebas dari covid-19.

Singkat cerita, Mamah mendapatkan kamar. Selama di perjalanan menuju kamar rawat inap. Aku dan Papah mengobrol.

Awalnya hanya membicarakan soal apa saja yang telah Mamah bicarakan dan lakukan selama di isolasi. Sampai pada akhirnya Papah bercerita soal itu.

"Papah abis sholat tadi, dapet gambaran. Dan pas Papah nyampe ke rumah sakit ini, Papah kayak nggak asing, kayak pernah masuk dan berobat di rumah sakit ini. Terus Papah lihat Mamah udah di rawat di sini pakai baju pasien warna biru."

"Terus lanjutannya?"

"Nggak ada, Papah cuman lihat itu doang."

"Oh, kalau gitu, mungkin karena Papah kepikiran Mamah, makanya sampai ngelihat hal gitu. Insya Allah nggak apa-apa kok."

Aku sebagai anak hanya menjawab sebisaku dan seusahaku untuk menenangkan Papah.

Hingga hari dimana Mamah baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Aku yang berada di depan kasurnya, mampu melihat Papah bagaimana ia sangat kehilangan istri tercintanya. Papah menangis, tapi tidak sederas atau sekeras aku, kakakku, dan adikku. Papah masih melantunkan ayat-ayat yang mungkin bisa menjadi penyelamat Mamah di kemudian hari.

Papah mengelus kening Mamah, menciumnya, menggenggam erat tangannya sembari mulut yang tanpa henti berbicara dan melantunkan doa-doa.

Selepas Mamah dibawa ke ruang khusus untuk memandikan mayat. Papah baru bercerita.

"Ini Kak yang Papah lihat. Setelah lihat Mamah dirawat pakai pakaian pasien warna biru. Papah lihat Mamah ditutupin kain batik, udah bersih, udah cantik, udah wangi. Seluruh tubuhnya udah ditutupin kain putih ditambah kain batik. Awalnya Papah gak mau percaya, tapi ya itu jawaban Papah setelah minta diperlihatkan Mamah bakal sembuh atau nggak. Papah kekeuh gak mau percaya sampai akhirnya kejadian."

Aku yang mendengar itu hanya bisa menahan rasa sakit dan rasa takut yang amat sangat. Setelah itu, aku menyadari sesuatu, sebelum Papah bercerita tentang penglihatannya, Papah baru menyelesaikan sholat Ashar. Dan saat sore itu, ketika sedang bagian Papah menjaga Mamah. Papah sudah menangis duluan. Aku melihatnya dengan jelas bagaimana Papah menangis tersedu di samping Mamah.

Kehilangan orang yang mencintaimu dari awal hingga akhir ini adalah perasaan yang menyakitkan.--

Atau

--Sepertinya, tiap orang kesayangan akan menemui ajalnya, orang-orang di sekitarnya--kita--merasakan hal itu, hanya saja yang disampaikan atau ditunjukkan itu berbeda-beda.--

Dan setelah merenungkan apa yang baru saja terjadi padaku. Aku merasa bahwa hal itu sangatlah menyeramkan. Mungkin bisa jadi sebuah pertanda untuk menemani almarhumah sampai di detik terakhir ia menghembuskan nafasnya. Tapi itu juga bisa menjadi rasa yang paling menyeramkan yang pernah kurasa selama seumur hidup.

Aku mempelajari satu hal.

Pertanda dari Yang Maha Mulia itu nyata. Kebaikan-Nya memberitahu kita lebih dulu sebelum menghadapi kenyataan yang menampar kesadaran kita ribuan kali. Dia tahu, bahwa kita akan menghargai sebuah kehidupan seseorang di saat-saat terakhirnya.

-end-

note : ini hanyalah imajinasi. Dimohon untuk tidak membicarakan works ini keluar dari tempatnya. Terima kasih.


Pesan untuk MamahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang