20200821

24 1 0
                                    

Aku baru bisa ambil nafas hari ini setelah kelimpungan karena kondisi Mamah yang menurun drastis; sesak bertambah, batuk tidak berhenti, bahkan tidak tidur nyenyak karena terganggu oleh batuk kering sialan itu.

Itu kondisi saat malam hari. Begitu pagi, kami—aku dan kakakku—langsung membawa Mamah ke igd rumah sakit swasta itu kembali. Dengan kondisi aku yang belum tidur karena siaga dengan suara batuk Mamah.

Ugh, maaf, Mam jika aku menyusahkan kondisi. Aku tetap berusaha untuk menguatkan diri dan menjaga kewarasanku, tenang saja.

Singkat cerita Mamah langsung masuk igd dan kami memberikan penjelasan tentang kondisi Mamah. Sayangnya, kamar isolasi khusus bagian paru saat itu tidak ada yang kosong—penuh semua.

Alhasil kami pergi ke rumah sakit yang disarankan. Iya, disarankan. Bukan dirujuk. Karena diperiksa saja tidak, hanya skrining suhu dan ditaruh di bed igd tanpa di apa-apain.

Terkutuklah rumah sakit itu.

Berikutnya kami ke rumah sakit yang pertama kali disarankan dan ternyata zona hitam. Oh, tentu kami tidak ingin mengambil risiko dan pergi mencari rumah sakit yang lain.

Setelah memberi pertimbangan apa ingin tetap pergi mencari igd yang tersedia di tengah pandemi dan masih bisa menerima pasien umum atau menunggu sore datang untuk bertemu dengan dokter paru di rumah sakit seasta itu jembali. Sesuai keputusan Mamah, kami melanjutkan perjalanan ke rumah sakit tersebut karena kondisi Mamah yang... Yah, aku tidak mampu menjelaskan lebih parah dari kondisi terakhir yang kujelaskan.

Rumah sakit umum pusat nasional. Tempatnya orang-orang yang mengenyam pendidikan dokter berada di sini. Pusatnya di sini. Aku baru pertama kali ke sini juga, jadi belum tahu banyak tentang rumah sakit ini.

Aku belajar satu hal saat membawa Mamah ke igd—tentu setelah di skrining suhu dan ditanya-tanya perihal protokol kesehatan kala itu.

Selalu. Membawa. Catatan. Medis. Terakhir.

Demi Tuhan, aku masuk ke dalam sana menemani Mamah—kakakku sedang memarkirkan mobil—aku dimarah-marahi oleh dokter jaga karena tidak membawa hasil rekam medis terakhir. Aku terima-terima saja karena memang kesalahan kami sebagai penunggu pasien yang tidak meminta ke rumah sakit yang sebelumnya.

Sumpah, terkutuk rumah sakit swasta itu yang tidak memberikan hasil rontgen dalam bentuk basahan, hanya memberitahu lewat komputer tanpa menjelaskan lebih detail kepada pasien. Sialan.

Niat hati, dokter jaga itu ingin mengisolasi Mamah karena kemungkinan tbc yang menyebar melalui aerosol. Tapi begitu dijelaskan secara perlahan oleh Mamah di ruang tertutup, barulah Mamah dipindahkan ke tempat biasa di salah satu sudut igd dan mendapat ranjang setelah terlalu lama duduk di kursi roda.

Aku cukup kagum dengan ramainya igd dan banyaknya dokter yang bolak-balik mengobservasi dan menanyakan kondisi Mamah sebab Mamah adalah pasien baru. Walaupun awalnya sempat khawatir karena sedang pandemi, tapi melihat betapa para perawat dan dokter menjaga ke steril-an ruangan, aku menjadi lebih sedikit santai.

Iya, sedikit. Karena aku masih bersusah payah menjaga kewarasanku hanya karena alasan aku belum tidur. Aku mengantuk berat, emosi yang tidak terkontrol, dan kemungkinan aku yang bisa meledak kapan saja.

Pada akhirnya aku berpamit lebih dahulu agar bisa tidur siang dan nanti kembali lagi untuk bergantian jaga dengan kakakku. Aku benar-benar tidak kuat ketika harus tidur di dalam mobil yang panas dan tidak mungkin juga menyalakan mobil selama itu hanya untuk mendapat air conditioner dari mobil.

Yang ada malah menambah cerita mobil meledak. Hahaha, tidak, tidak, lebih baik pulang.

Aku kembali ketika sore menjelang malam. Sebelum bergantian jaga dengan kakakku, aku mendapat kabar kalau Mamah akan langsung ditindak, cairannya akan disedot.

Jadi, kami berdua menunggu di luar ruang tindakan setelah Mamah di usg dan dokter lain berdatangan untuk mmebantu mengeluarkan cairan itu dari paru-parunya. Tidak banyak, ada tiga dokter di dalam sana.

Cukup lama aku dan kakakku menunggu di luar ruangan dengan posisi berdiri, cukup menyakitkan, tapi lebih baik seperti ini. Tiga puluh menit kemudian Mamah keluar dari ruang tindakan dengan botol air mineral satu liter penuh cairan dan satu spuit 50cc yang juga penuh cairan.

Warna cairannya seperti teh.

Kemudian saat aku ingin menjaga Mamah, lagi-lagi harus mencoba untuk tidak terkejut mendengar bahwa patologi anatomi hanya bekerja di hari kerja. Mau tidak mau cairan itu disimpan sampai kurang lebih tiga hari demi menunggu hari kerja datang dan sudah tidak bergunanya cairan itu.

Jelas, cairan terbaru itu yang paling ampuh untuk dikirim ke laboratorium. Tapi setelah bertahan tiga hari di dalam botol mineral apa gunanya?

Hari ini, yang perlu kusyukuri adalah betapa cepat dan tanggapnya dokter dan perawat itu menangani Mamah. Walaupun belum dapat kamar dan harus menginap di IGD sampai waktu yang tidak ditentukan.

Tapi tidak masalah. Setidaknya Mamah sudah ditangani.

Setidaknya...

-
-
-

Sekian cerita hari ini. Terima kasih sudah membaca dan maaf jika ada salah kata. See you!✨

Pesan untuk MamahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang