Pagi ini, aku mendengar kanker Mamah udah stadium akhir, stadium empat.
Aku boleh egois nggak? Seharusnya berita ini gak perlu dikasih tau ke Mamah karena aku nggak mau Mamah kenapa-kenapa.
2020 bercandanya keterlaluan.
Pengobatan dengan kemo pun cuman buat memperkecil sel-sel kankernya, bukan menghilangkannya sekaligus. Seakan-akan disuruh buat gak berharap banyak sama kemoterapi.
Padahal katanya pengobatan terbaik untuk penyakit Mamah itu ya kemoterapi.
Mam, maaf.
Kepalaku udah di set sedemikian rupa buat gak sedih atau nangis lagi. Kepalaku udah di set buat bahagia selama beberapa jam.
Mamah nangis, aku gak bisa ikutan nangis kayak dulu. Gak ngerasa sedih juga. Bukan maksudku sebagai anak durhaka, tapi memang obat yang kuminum mempunyai efek samping seperti itu.
Yang kurasakan pas lihat Mamah nangis hanya satu, nyeri. Dadaku nyeri, Mam. Ngeliat Mamah nangis dan langsung ngehubungin Nenek buat cerita.
Mam, nggak apa-apa nangis.
Nggak apa-apa kalau Mamah udah gak kuat buat nahan ini semua.
Keluarkan aja semuanya, Mam. Sesuatu yang ditahan itu nggak baik, aku salah satu contohnya. Jadi, keluarkan aja, Mam. Menangis, telfon Papah, Nenek, atau siapapun yang bagi Mamah itu penting untuk memberitahu berita ini.
Lagi-lagi aku cuman bisa nyemangatin Mamah, nggak bisa berbuat banyak karena aku gak tau apa yang harus dilakukan lagi.
Hari ini Mamah boleh nangis. Mamah boleh sedih dengar berita ini. Tapi besok Mamah harus semangat lagi. Mamah harus kuat ngelawan penyakitnya.
Oke?
-
-
-
Sekian cerita hari ini! Terima kasih sudah membaca dan maaf jika ada salah kata. See you!✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan untuk Mamah
Non-FictionSebuah kata-kata yang berubah menjadi kalimat memenuhi notes Sebuah kata-kata yang ingin disampaikan namun tidak mampu karena gengsi Sebuah kata-kata yang mewakili perasaanku Sebuah kata-kata yang berubah menjadi pesan untuk Mamah Copyright© AMPARPE...
