Pandanganku kabur. Kedua mataku tidak bisa melihat dengan jelas. Tanganku sedang memegang satu botol vodka yang ku habiskan semalaman. Aku sedang berada di kamarku. Jendelaku masih terbuka, entah sudah berapa lama aku membiarkan mereka terbuka. Aku menggigil kedinginan. Ini bulan April, seharusnya angin sudah mulai menghangat, tetapi sejak kemarin salju kembali turun dengan lebat. Aku bahkan tidak melihat satupun bunga yang mulai tumbuh di sekitar lingkungan rumahku. Ini seperti musim dingin berkepanjangan dengan tumbuhan yang mulai menumbuhkan daun-daunnya.
Kamarku sangat berantakan, tapi ini lah yang terjadi beberapa minggu belakangan ini. Aku tidak pernah membersihkannya. Mataku bahkan masih bisa melihat sisa-sisa makanan yang tidak aku habiskan dari beberapa minggu yang lalu. Aku mengeluh, mengingat mulai hari ini aku benar-benar sudah kehabisan piring untuk makan dan aku harus membersihkan seluruh sampah ini.
“Shinwon!” Seorang lelaki berdiri di pintu masuk kamarku. “Belum dibersihin juga?”
Aku mengerang, lalu mulai menyelimuti diriku dengan selimut di kasurku.
“SHINWON, BANGUN!” teriak lelaki itu sembari menarik selimutku.
“APAAN, SIH?” Aku mengangkat bokongku, lalu mulai mengambil langkah untuk segera meninggalkan kamarku. Kakiku menendang segala benda yang menghalangi langkahku. Banyak botol-botol dan bungkus makanan yang sudah lama tidak aku buang. Banyak juga baju-baju kotor yang tidak aku cuci. Kamar ini sudah seperti pembuangan sampah dengan bukit-bukit sampah yang siap menelanku kapan saja. Dan aku siap akan hal itu.
Aku mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu kamarku. Tubuhku masih memakai baju pergi yang aku pakai sedari beberapa hari yang lalu. Hanya perlu jaket agar aku tidak mati membeku di sepanjang jalanku menuju minimarket terdekat.
“Mau ke mana?” tanyanya.
“Pergi,” jawabku.
“Won, jangan bilang kau mau beli minum lagi? Sudah berapa banyak botol yang kau habiskan sampai membuatmu rusak begini, Won?” Lelaki itu berdiri di depanku, mencegatku agar aku tidak melanjutkan langkahku.
“Bisa minggir, gak?” tanyaku sembari mengeluarkan senyum paksaanku. “Jo Jinho, minggir!”
Jinho tidak menghiraukan perkataanku. Kakinya yang lebih pendek berusaha untuk menyamaratakan tinggiku dengannya. Kedua tangannya memegang kedua bahuku.
Aku menghentakkan kedua tangan Jinho dari kedua bahuku. Langkahku kembali berlanjut, meninggalkan Jinho sendirian di apartemenku.
“ARA GA BAKAL SUKA NGELIAT LO GINI, WON!” teriak Jinho dari kejauhan.
Langkahku terhenti tepat sebelum aku membuka pintu utama apartemenku. Aku membalikkan tubuhku. Wajahku mengeras. Tatapanku menajam. Jinho, ia tahu bahwa ia sudah melakukan kesalahan, berdiri di depan pintu kamarku dengan tubuh kecil yang bergerak gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Frasa Semesta
FanfictionTidak peduli sesederhana apa pun sebuah peristiwa, semesta tetaplah menjadi saksi utamanya. Saat harapan digantungkan, ketulusan tergadaikan, atau justru kesedihan menjadi kemurnian hati menggapai kebahagiaan, empat musim yang bersisian selalu tepat...