Aku terduduk di lantai, tepat di sisi kanan ranjang kakekku. Kakekku sedang tertidur pulas, entah kapan akan terbangun. Beberapa hari ini ia sakit berat. Ia terus menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Kakekku lebih memilih untuk berdiam diri di rumah tuanya. Dan hari ini aku, Adachi Yuto, sedang berkunjung.
Rumah kakekku cukup sederhana. Rumah ini hanya terdiri dari kamar dan ruang tamu yang disatukan dengan ruang makan dan dapur. Kakekku selalu memakai toilet dan kamar mandi umum. Rumah ini juga sangatlah kecil. Terkadang aku merasa heran bagaimana ayahku hidup di rumah ini dengan nenek dan kakek saat ia masih kecil.
Hanya terdapat satu meja kecil pendek di sisi kiri matras kakekku di kamar ini. Juga ada lemari kecil di sisi lain ruangan, tempat kakekku menyimpan seluruh pakaiannya. Dahulu, terdapat lemari besar untuk menyimpan pakaian nenek dan kakek. Tapi, semenjak nenek pergi terlebih dahulu, kakek memutuskan untuk menggantinya dengan lemari yang jauh lebih kecil. Ia tidak ingin menyimpan seluruh kenangannya bersama dengan istrinya di ruangan kecil ini. Kakekku tidak begitu suka menyimpan kenangan-kenangan di hidupnya.
Terdapat senapan besar yang tergantung di belakang pintu kayu kamar ini. Senapan itu sudah tidak pernah dipakai semenjak ia berburu untuk terakhir kalinya di saat ia masih remaja.
Rumah kakekku masih terbuat dari kayu. Kayu yang sudah lapuk setelah puluhan tahun berusaha berdiri menerjang berbagai cuaca di kota ini. Terik matahari masuk dari jendela kecil yang sudah terbuka semenjak aku datang. Aku memutuskan untuk membukanya karena ruangan ini sangatlah pengap dan udaranya sangatlah tidak sehat untuk kakekku. Tapi, terik matahari di tengah siang sudah memberikanku jawaban. Nihil. Udara di luar sangatlah kering dan panas. Seperti tidak ada pergantian udara.
Tidak ada keringat di tubuhku. Kulitku terasa sangat kering. Beberapa bulan ini terik matahari sangatlah berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Lebih panas, lebih kering, lebih tajam. Seperti terdapat ribuan jarum di tubuhku yang menggores setiap inci kulitku. Panas ini menghabiskan seluruh tenagaku.
Mataku terlalu letih untuk menahan sakit di seluruh tubuhku. Pandanganku kabur. Tubuhku sudah meringkuk di lantai, tidak kuat melawan gravitasi untuk menjaga tubuhku agar tetap terduduk. Mulut dan tenggorokkanku kering. Aku merangkak menuju dinding, lalu berusaha untuk menjadikan dinding sebagai tumpuan. Aku ingin berdiri, mencari air.
Namun, bahkan sebelum tanganku menyentuh dinding, aku merasakan sesuatu yang amat panas di belakang kepalaku. Kulitku terasa terbakar. Aku berteriak kesakitan. Tubuhku kembali meringkuk, menyatu dengan lantai kayu. Aku berusaha untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di belakangku, tapi satu hal yang aku tahu sebelum pandangan hitam menguasaiku adalah bahwa senapan besar yang tergantung di belakang pintu kamar ini telah hilang.
***
Aku terbangun di tempat yang tidak aku kenali. Di punggungku terdapat senapan, senapan kakekku. Tangan kananku menggenggam kepala babi hutan. Kepala babi hutan itu masih dipenuhi dengan darah segar, sepertinya baru saja dipisahkan dari tubuhnya. Tapi, kapan aku melakukan itu? Berburu? Aku tidak pernah berburu. Apakah aku sedang bermimpi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Frasa Semesta
FanfictionTidak peduli sesederhana apa pun sebuah peristiwa, semesta tetaplah menjadi saksi utamanya. Saat harapan digantungkan, ketulusan tergadaikan, atau justru kesedihan menjadi kemurnian hati menggapai kebahagiaan, empat musim yang bersisian selalu tepat...