Sometimes

16 5 2
                                    

By utamiwu_

Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok, lusa, atau seterusnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok, lusa, atau seterusnya. Mungkin kita mengharapkan besok akan baik-baik saja. Tapi rupanya yang datang hanyalah luka. Apakah memang Tuhan sebercanda itu dengan kehidupan ini? Ataukah memang ini rencana terbaik Tuhan?

Ah, sial! Aku mengingatnya lagi.

Bahkan ketika aku memandang permukaan cangkir yang terisi kopi pun, aku masih bisa melihat bayangannya. Lihatlah, ia bahkan memanyunkan bibirnya. Tanpa sadar, aku turut tersenyum. Mungkin orang lain akan mengatakan aku gila karena tersenyum sendiri pada secangkir kopi.

Masih teringat jelas kejadian beberapa tahun lalu perihal orang bodoh yang kini entah dimana keberadaannya. Namanya Jung Wooseok. Laki-laki dengan tinggi menjulang itu adalah seorang hoobae di kampus. Kami berada pada jurusan yang sama, musik. Sialnya lagi, aku jatuh cinta padanya. Entah sejak kapan, aku sendiri tidak menyadarinya.

Pertemuan kami dimulai ketika dosen menyuruh kami untuk berkolaborasi memainkan alat musik. Aku seorang cellist dan ia seorang pianist. Kala itu, aku berada di tingkat tiga. Jarak usia kami terpaut dua tahun. Tentu saja aku lebih tua dari Wooseok. Mengesalkan memang.

Dosen itu menyuruh kami memainkan lagu klasik yang sangat populer sekaligus lagu kesukaanku, Canon in D. Siapa yang tidak mengetahui lagu sejuta umat yang biasanya dimainkan ketika acara pernikahan itu?

Satu… Dua… Tiga…

Wooseok mulai memainkan lagu terlebih dahulu. Beberapa saat kemudian, aku menyusul menggesekkan bow pada setiap senar alat musik kesayanganku. Secara alami, kedua mata kami bertatapan satu sama lain. Kala itu pula aku tersenyum membalas tatapan matanya.

Bukan. Itu semua bukan karena aku mencintainya. Sungguh. Aku terlalu larut dalam lantunan lagu yang sangat ku sukai itu hingga tanpa sadar tersenyum. Beberapa saat kemudian, Wooseok juga tersenyum melihatku.

Posisi dudukku yang tidak jauh dan menghadap ke arah Wooseok membuatku tidak bisa melepas pandangan matanya. Bahkan aku bisa melihat jari-jari lentiknya yang panjang menekan tuts piano dengan lihai. Siapapun yang melihat pasti tidak akan percaya bahwa laki-laki yang sedang bermain piano itu masih ada di tahun pertama perkuliahan.

Suasana kelas menjadi begitu hening. Hanya terdengar suara dari cello dan piano yang terpadu menjadi satu. Dosen perempuan berambut pirang itu terlihat memejamkan mata, menikmati alunan lagu. Beberapa menit kemudian permainan musik kami berhenti. Suara riuh tepuk tangan terdengar memenuhi ruangan.

“Bagus, bagus sekali,” puji Miss Kim, dosen perempuan kelahiran Jerman itu. “Saya sangat suka. Siapa sangka seorang mahasiswa tingkat pertama dapat memainkan piano dengan begitu baik.”

Aku hanya tersenyum kaku. Ayolah, dia tidak sendirian. Ada aku yang juga mengiringi permainan pianonya. Tapi tidak banyak yang bisa kulakukan selain tersenyum. Sejak saat itu, aku membenci laki-laki bernama Wooseok itu. Yah, walaupun aku mengakui keahliannya.

Sudut Frasa SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang