Kenangan

33 1 0
                                    

02 November 2021

TPU Pendem.

Usapan hangat sinar mentari perlahan menembus embun yang perlahan menghilang. Kilauan cahaya kuning keemasannya menyinari satu persatu jasad yang terkubur dalam nisan marmer yang memudar dan ditaburi bunga-bunga kamboja berikut mawar di hamparan tanah yang cukup luas dipenuhi ilalang. Arang-arang bakar terletak di atas piring aluminium kecil di badan kuburan. Bau kemenyan dan bunga bertebaran bebas di udara. Cukup beruntung bagi para penggali kubur di tengah musim hujan.

Tempat menjadi saksi bisu bagaimana orang tua kehilangan anaknya, bocah meratapi tubuh tak bernyawa, keluarga berkumpul dalam kubur. Mereka mengenang ratusan ribu hingga jutaan nyawa yang melayang. Mereka adalah saksi begaimana negara ini dalam prosesnya bertumbuh di atas tragedi bangsanya sendiri. Sebuah peristiwa yang terlampau mahal untuk terulang karena harus memakan banyak jiwa-jiwa yang melayang.

Di luar sana, gedung-gedung pencakar langit mulai tertutup pepohonan dan lumut merambat. Para hewan yang dulu dijadikan ternak dan peliharaan, kini berjalan bebas di jalanan, kemudian sebagian bersarang di reruntuhan tua. Bahkan beberapa ekor kambing terlihat menelusuri rerumputan dan berkeliaran di jalan sembari memanjat bangkai mobil dengan bayi mereka. Seolah tergambar jelas bagaimana semua warga tiba-tiba menghentikan apa yang mereka lakukan dan tidak pernah kembali, alam mulai mengambil alih. Itu akan terasa indah, dengan caranya sendiri yang melankolis.

Kicauan burung pagi bersahutan menari di atas ranting-ranting pepohonan, ada suara orang menyapu daun kering di area pemakaman umum sehingga menimbulkan suara srek, srek, srek. Seorang gadis cantik menjejakkan langkahnya menyusuri area kompleks pemakaman. Tungkai kembar membawa si empunya menuju batu nisan yang begitu familiar, di mana nama yang begitu dirindu sang gadis terpahat rapi di atas batu nisan; 'Mariana Cornelio' lengkap dengan tanggal yang sama dengan hari ketika ia kehilangan sang ibunda walaupun berbeda bulan.

Gadis kecil itu duduk berjongkok, menaruh setangkai bunga yang dibawanya di atas makam sang ibunda. Jemari-jemarinya membelai batu nisan yang dingin serta basah akibat cuaca siang itu yang baru saja dituruni hujan.

"Mama!" Sapa si gadis kecil lirih dengan suara yang berhasil keluar di antara nafasnya yang tercekat, "hari ini, Silvia bawa lagi bunga matahari kesukaan mama."

Air mata masih menetes tanpa suara. Keramaian orang-orang sekitar seolah tak mengganggu keheningan yang amat menyesakkan dada. Kilauan mata biru miliknya tak lekang menatap pusara yang ia tahu pasti kosong bawahnya. Ya, makam itu hanya simbol belaka, karena jasad Mariana berada entah dimana. Sang puan menjadi salah satu korban kebiadaban orang-orang arogan saat musibah wabah melanda kota beberapa bulan yang lalu. Walau begitu si gadis kecil senantiasa mengunjungi pusara kosong di tiap harinya jika waktu senggang.

"Maafin Silvia ya ma, nggak bisa datang minggu lalu pas ulang tahun mama."

Lalu dia mendudukkan diri di samping nisan itu, tidak peduli jika bajunya kotor, hanya ingin duduk bersama dengan kerinduan yang membludak, kata-kata si gadis kecil mengalir begitu saja. Sang gadis kecil ceritakan semua keluh kesahnya, mulai dari mengapa ia jadi jarang berkunjung akhir-akhir ini hingga kerinduannya yang tak tertahan. Kepergian sang ibunda membuat gadis cantik yang kini menginjak 8 tahun itu larut dalam kesedihan. "Terimakasih, ma... Atas semua yang telah mama kasih sama aku dan papa. Terimakasih atas semua yang mama lakukan terhadap kami berdua. Tapi..."

Suara Gadis itu tercekat, bulir-bulir air mata perlahan menetes basah "... Silvia belum bisa membalas kebaikan mama selama ini." Gadis itu tak pernah berlama-lama berada di pemakaman, tetapi hanya bersama ibunya ia bisa tertawa dan bercerita lepas tentang hidupnya. Maka ia memanjatkan beberapa doa juga menanam beberapa tangkai bunga di pusara itu.

BIOPOCALYPSE : ExtinctionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang