Tanah Tak Bertuan

56 1 0
                                    

Tiga Hari Kemudian...

Bisikan aneh dan erangan tipis menyeruak di balik kepulan asap tipis yang perlahan membentuk kabut tebal. Sesekali geraman kasar saling bersahut-sahutan di tengah kegelapan hutan kota alam nan rimbun. Pepohonan hijau yang tumbuh besar dan menjulang tinggi di kanan kiri trotoar jalanan kota mati menambah kesan horor lokasi tersebut. Tetapi itu semua tak menyulutkan niat si pemuda berambut gimbal itu untuk pergi menemui seseorang di dalam sana.

Tangannya terasa dingin saat jiwanya merasakan bahaya disekitar hutan, sementara senternya sesekali berkedip menerangi perjalanannya melewati para mayat yang tergantung di sepanjang pepohonan.

Apalagi saat tangan-tangan makhluk menyeramkan itu berusaha menggapai-gapai dirinya, ditambah dengan lumpur-lumpur bercipratan dibawah kakinya. Bahkan ia sempat terhenti ketika sekelebat bayangan seekor harimau Sumatera terlihat berjalan mengendap-endap seakan tengah mengincar mangsanya. Meskipun begitu, kicau burungnya lembut dan tidak terlalu keras. Ditambah bagaimana kabut membuat hijau lembut dan menenangkan di tiap helaiannya.

Erik seharusnya mengerti akan keindahan alam yang terlukis indah oleh sang pencipta, tapi ketakutan lain yang dia alami selama ini sudah mengesampingkan ketakutan-ketakutan tentang sesuatu yang fiktif, sampai sayup-sayup terdengar suara seseorang yang menyapanya.

"Hai kawan, bagaimana kabar Galang sekarang?"

Erik bergegas mencari arah sumber suara tersebut hingga Erik melihat siluet seseorang dari balik kabut. Sumpah demi apapun, Erik sudah bersiap memasang siku-siku hendak melayangkan jurus; namun urung dilakukan sebab subjek yang sempat dicurigai sebagai lawan ternyata kawan.

Untunglah, Erik sudah dapat menyesuaikan penglihatan di dalam gelap dan ternyata yang dilihatnya adalah sesosok pria yang memakai caping (topi dari bambu yang biasa dipakai ke sawah atau ladang) dengan seekor anjing berdiri di depannya.

"Aku kira mayit." Sejatinya tengah menghela nafas lega sebab tidak perlu mengeluarkan tenaga berlebih untuk melindungi diri. "Aku sudah memberikan antibiotik padanya, dan semuanya terkendali untuk saat ini. Namun dia akan kambuh sewaktu-waktu ketika obatnya habis."

"Begitu ya? Ah sayang sekali! Galang kali ini tidak seberuntung itu. Ayo masuk, kita bisa ngobrol sejenak di kabin sederhanaku. Jangan malu-malu, temanku."

***

"Aku tidak pernah berpikir akan mendapatkan makanan seenak ini lagi." Kata Erik sembari menggigit olahan ubi yang masih mengepul.

"Terima kasih nenek, untuk resepnya. Aku masih mengingatnya." jawab nya.

"Kau tahu, saat ini mungkin aku kehabisan air minum, padahal minggu lalu aku hampir tidak makan, kurang tidur, bahkan minum jauh lebih banyak dari yang seharusnya. Aku merasa bahwa semua yang kulakukan akan segera menghabisiku! Untunglah aku sempat mendapat pelatihan tentang bertahan hidup di hutan belantara." ucap si pria misterius seakan melayani sebagai pemandu melalui hutan dengan menceritakan beberapa sejarah kota itu.

"Omong-omong, apa kau tahu bagaimana menuju ke wilayah zona harapan?"

"Zona harapan?" Pria itu tiba-tiba mengernyit "Aku bahkan tidak tahu persis dimana lokasinya, tetapi jika kau akan meninggalkan hutan ini, kau harus melewati ruko terbengkalai."

"Ruko? Bagaimana bisa sampai di sana?" tanya Erik lagi mulai penasaran.

"Pergi ke utara dari sini, jika kau tidak keberatan aku akan mengantarmu sampai sana. Tetapi kau harus kita harus selalu waspada dan hati-hati, sebab kerumunan penginfeksi berkumpul di sana. Kau sebaiknya menyediakan beberapa senjata."

"Bagaimana aku bisa menemukan senjata?"

"Cobalah untuk mengumpulkan beberapa material di hutan dan buat sendiri. Aku rasa kau akan membutuhkannya."

BIOPOCALYPSE : ExtinctionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang