Bayangkan menjadi orang terakhir yang selamat dari wabah yang mengubah manusia menjadi monster haus darah. Tanpa teman, pacar, atau keluarga dekat. Hanya seruan melengking dan menggema dari para zombie yang memberikan pandangan terhadap pemukiman yang suram.
Setiap sudut kota berada di ambang kepunahan saat gerombolan zombie yang tiada henti mengerumuni jalan-jalan ikoniknya. Kamu menjelajahi setiap sudut yang ditinggalkan, mati-matian mencari secercah harapan sambil menghindari segerombolan mayat hidup. Jika kemungkinannya besar, setiap suara bisa berarti akhir umat manusia. Bisakah kamu selamat dari kiamat zombie?
So, bergabunglah bersama kami dalam perjalanan menegangkan saat menjelajahi sisa-sisa peradaban, tempat pertempuran demi kelangsungan hidup umat manusia yang terjadi di pinggiran kota yang tidak pernah tidur...Anjay keren ngga guah??
Hari ke-32. Di suatu sore hari di dunia yang sudah sangat kacau, gerimis kecil yang awalnya jatuh setitik dua titik, mulai menjadi hujan yang deras. Tetesan air hujan jatuh dari dahan dan menghantam atap-atap rumah warga. Menerbangkan debu-debu yang melekat pada setiap tempat yang berada di sisi jalan raya besar.
Satu hal menarik perlu kalian tahu, beda daerah beda pula zombie yang kita temui. Biasanya di kota-kota besar ada beragam macam zombie. Mulai dari zombie security, zombie polisi, zombie gojek, zombie Gen Z. Kalo di kampung sebagian zombie yang temui variasi lokal. iya, selokal kamu ketemu zombie yang pakai sarung, enggak pakai sepatu, pakai kebaya, dasteran, ompong dan lain-lain, pokoknya lokal pride deh, Tapi yang namanya mayit hidup sama aja ngerinya, mereka juga bergerak dengan penciuman.
Sampai dimana aku tadi? Oh benar... sejujurnya aku enggak mengeluh dan berkendara melalui desa terpencil di malam hari saat hujan deras... sebenarnya menenangkan. Pastinya apa yang kubutuhkan setelah beberapa hari terakhir...untungnya ada orang lain bersamaku dan mereka yang menyetir? Aku bisa tidur melewati ini
"woi cuk, kita sekarang ada dimane nih?"
"Bentar nyak, aing liat peta dulu..." Doyok merapatkan kain sarung dan jaket secara bersamaan, mengambil nafas melalui hidung dan sekaligus mulutnya sembari melihat lokasi yang udah kita datengin sebelumnya. "yang ini udah kita loot, udah kita loot, udah kita loot, hmm di seberang sana ada jalan raya"
Aku nggak tahu ini nama jalannya apa di depan sini banyak kebon-kebon dan ada dua rumah kosong juga di belakang, tapi yang jelas jalan ini yang menghubungkan kota Bogor ke kota berikutnya dari arah JLS atau Jalur Lintas Selatan dan ke arah utara sana tuh ke arah kampung. Depan belakang kiri kanan kosong. Semoga tidak ada zombie di sekitar sini.
Masuk hari ke 34, Saep bilang dia melihat peta dan ada rumah sakit umum dan hanya 3 jam di utara dari sini. Sebelum benar-benar beranjak pergi, Saep sempet menginstruksikan aku dan Doyok untuk melipir dulu ke reruntuhan bangunan Aprilmini yang telah ditumbuhi tanaman liar tapi engga ada zombienya.
Kami juga harus mampir untuk mengambil bensin karena sisa bensin kami hanya tinggal 1/4nya. Sambil coba looting di bengkel las disebelahnya, aku mengumpulkan perbekalan apa saja yang bisa kumasukkan ke dalam ransel, bersama makanan yang enggak mudah rusak, aku juga membawa seorang temanku yang..ya bisa dibilang jago enggak, dibilang tolol Iya, mudah-mudahan aja dia engga jadi beban kali ini.
"coba aku cek list hari ini, alat perlengkapan udah, pakaian dan tempat tidur udah, sanitasi dan kebersihan juga udah..tinggal makanan, air, P3K sama laserasi dasar." Oh iya, selain Perlengkapan Bencana, perlengkapan senjata juga penting untuk melindungi diri dari serangan zombie.
"Mobil masih bagus nih" kata Doyok ngelirik mobil di sebelah yang ternyata itu adalah mobil L300 lokasinya sih tidak terlampau jauh dari jalanan utama, namun rimbun oleh rerumputan serta semak-semak yang tinggi. Pas dicek waduh ada kuncinya juga masih nempel dong! Please... ada bensinnya.. please.. please.. Aaah, ga ada bensin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIOPOCALYPSE : Extinction
Misteri / ThrillerSelamat datang di abad post-pandemic. Inilah dunia 20 Tahun kemudian setelah wabah. Selama dekade terakhir, bumi menjadi rumah yang tak nyaman oleh keserakahan dan kesombongan umat manusia. Laut dipenuhi sampah dan minyak, hutan menjadi kering, dan...