Kelompok Terbuang

30 0 0
                                    

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan."

***

Sepanjang jalan, seorang pemuda tak henti-hentinya memandang jalanan berkelok, kiri kanan hanya terlihat pohon tinggi besar dengan kegelapan yang menyelimutinya.

"Huft, kau tidak tahu betapa indahnya hidup tanpa kemacetan lalu lintas." Ujar sang sopir mengamati sekelilingnya.

Dari kejauhan, bayangan sebuah bangunan tua terlihat di antara pepohonan besar, bersembunyi dibalik rindangnya semak belukar yang tumbuh subur. Bangunan itu cukup luas . Dengan pintu gerbang besi tua yang sudah berkarat dan beberapa tanaman yang sudah tertutup oleh rumput liar. Rumput liar tumbuh hingga keluar dari gerbang besi.

Setelah melewati gerbang besi, Mobil berhenti tepat di depan tersebut. Seseorang melangkah turun sembari menoleh mengawasi sekeliling, tetapi ia tak mendapati siapapun. Sesuatu seperti tengah mengawasi dirinya. Ia berusaha menenangkan diri. Mungkin itu hanya perasaannya. Cahaya senter menyorot sebuah lorong panjang. Bangunan ini seolah menelan dirinya hidup-hidup. 

Sampai di satu titik, tiba-tiba terdengar suara jeritan dan tangisan dari kejauhan. Meski samar, lelaki itu berhenti sejenak, ia memandang ke sekeliling, mencari darimana datangnya sumber suara. Tak ingin kehilangan petunjuk, ia mulai berlari masuk ke dalam. Saat suara pembimbingnya semakin kecil, ia mencoba mengandalkan insting, sampai dia mendapat satu titik kemungkinan besar suara itu. Dibalik tikungan, di samping tembok tebal terlihat orang pria berpakaian gelap.

Bayangannya tampak dari pantulan cermin yang memantul dari luar, Meski samar, dia mengenali pakaian yang dipakai oleh mereka. Terlihatlah seorang lelaki tua berperawakan tinggi dengan mula sayu serta rahang tegas, ia kemudian menyuruh dua orang lainnya mengambil beberapa sandera satu persatu. Sambil mendekat, ia berkata kepada si lelaki tua "bos..."

Si lelaki tua menatap pemuda itu dengan ekspresi melotot sembari menyeringai

"Kau tahu, aku suka bau hutan di pagi hari."

Si pria berjalan beberapa langkah, mendekati para sandera yang sekarang sedang menatap dirinya dengan pandangan ngeri. Ia menunduk sebelum meletakkan sebuah benda di atas lantai. Sebilah parang.

Tanpa sepatah katapun yang di ucapkan oleh si lelaki tua, tampaknya dua rekannya itu mengerti pesan apa yang coba pria itu sampaikan kepada mereka. Dua orang tadi diam sejenak, kemudian mulai menjambak rambut para korban satu persatu sebelum menghunus parang tepat di tenggorokan mereka. 

Seolah belum cukup, kedua sosok algojo itu mengerang seperti orang kesetanan menggorok para sandera. Kemudian segalanya menjadi sunyi senyap. Lantai pun dipenuhi oleh genangan darah. Di setiap dekat jasad-jasad yang tewas, mereka memberi pesan bertuliskan, "RAKYAT BIADAB!" 

Si pria hanya diam mematung lantas membuang muka. Ia tak tega melihat kengerian yang terjadi dihadapannya, sementara si lelaki tua mengamatinya sembari menyulut satu batang rokok seakan tampak seperti menikmatinya.

"Tidak ada yang lebih menyegarkan daripada menikmati udara yang masih berkabut." si lelaki tua menyesap dalam-dalam lalu menghempaskan asap itu hingga mengudara.

***

Setelah berjuang mati-matian melewati rombongan mayat-mayat lapar, Erik, Melin, dan Elisa memutuskan untuk pergi dari kota dengan salah satu kendaraan milik kelompok Lembu Ireng yang kuncinya masih menggantung.

BIOPOCALYPSE : ExtinctionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang