Munjang Kurau, 19 Juni 2030
11;30 AM
Angin lembut berhembus melalui pohon-pohon berdaun mati di pertengahan bulan Juni, seakan membuat suara seperti raungan kematian. Begitu tenang di sini, bahkan tidak ada suara serak tanpa henti yang membuatnya sedikit terganggu.
Hanya suara gemericik dedaunan dari langkah hewan liar seperti babi hutan yang kerap kali berkeliaran bebas. Selain itu pohon tumbang, papan reklame jatuh, jalanan jadi empang, tulang berserakan serta mayat berjalan dimana-mana sudah menjadi penglihatannya sehari-hari.
Erik melangkah menyusuri jalan, entahlah ia begitu yakin ini arah yang benar, kabar baiknya matahari tak begitu panas kala itu, entah tertutup pepohonan rimbun atau teriknya tertutup awan hitam tebal yang tak lama berganti hujan lebat. Ia pun tak menganggapnya sebagai hal buruk, malah sempurna membumbui rasa ini. Keyakinannya seketika goyah saat sampai di ujung jalan.
Tidak, jalannya tak berakhir, hanya saja terputus karena ambruk dan roboh dengan puluhan kendaraan yang berada di atas jalan jembatan tercebur ke Sungai. Erik nekat berusaha menyeberangi jembatan itu melalui papan-papan kecil di sisi kiri jembatan, sangat rapuh. Dengan hati yang kemelut, pijakan pertamanya di papan jembatan sempat terhenti, Erik menyadari betapa besar dan panjang jembatan itu, membuatku semakin merasa kecil dan tanpa daya.
Entah kenapa Erik penasaran untuk melihat kebawah, ia sudah siap melihat kemungkinan terburuk seperti aliran sungai yang deras atau diterkam ribuan penghuni danau. Tapi tidak, ia tidak melihat apa-apa, hanya gelap dan hampa. Ia pun tak paham kenapa ini lebih menakutkan, Erik langsung berbalik badan dan mencoba merangkak kembali ke hulu.
***
Langkah kaki membawanya masuk ke sebuah tempat di ke tengah hutan yang letaknya jauh sekali dari kota, akses masuk hanya sepeda motor atau pejalan kaki, kemudian tidak ada satupun sawah di lokasi, dan letak desa terdekat sangat jauh karena harus keluar hutan.
Setelah berlari-lari kecil selama 3 jam melalui 'hutan belantara' kota yang penuh misteri. Sebuah perkampungan kecil nampak dengan sisa-sisa peradaban tanpa harapan. Rumah-rumah penduduk hanya tinggal sedikit dan dindingnya bukan dari tembok.
Menara listrik yang perlahan-lahan membusuk masih berdiri kokoh lengkap dengan pagar kawat berduri terpasang di setiap sudut, vegetasi menaklukkan tempat ini dan lebih banyak jebakan berduri untuk memperkuat pertahanan kompleks.
Desa yang dicari ternyata kini menjadi kampung 'hilang' dan tampak usang, dimana jarak perkampungan dari tempatnya menghabisi para bandit dan sekte sesat saat itu hanya sekitar 5 kilometer.
Adapun medan untuk menuju kampung cukup menantang, dimana siapa saja yang ingin masuk kesana harus melalui hutan karet terlebih dahulu serta pohon-pohon yang berukuran besar. Tidak cuma itu, jalurnya pun hanya berupa jalan setapak yang tidak rata ditutupi dedauan. Selain itu, semuanya tampak normal disini.
Sepertinya ini adalah 'zona aman' di mana mereka yang tidak terinfeksi dapat mencari perlindungan dan memulai era baru. Bahkan banyak barang-barang peninggalan warga tergeletak begitu saja ditinggalkan penduduknya. Mungkin saja dulu begitu banyak orang tinggal di sini, dan sekarang.... Justru keheningan inilah yang membuatnya menggigil. Sepertinya penduduk sudah lama meninggalkan desa ini.
Ditengah perjalanan, matanya tertuju pada papan kayu lapuk di depan sebuah pohon rimbun yang konon katanya merupakan papan selamat datang dilengkapi nama desa. Namun, nama desa yang menempel tembok sudah tertutup debu dengan beberapa catatan terpempel disana
"Oh ada papan pengumuman." Guman Erik seraya berhenti sejenak untuk membacanya
"Seorang lelaki tua tinggal sendirian di sebuah rumah di sudut barat laut desa. Bisakah seseorang melihat dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BIOPOCALYPSE : Extinction
Mystery / ThrillerSelamat datang di abad post-pandemic. Inilah dunia 20 Tahun kemudian setelah wabah. Selama dekade terakhir, bumi menjadi rumah yang tak nyaman oleh keserakahan dan kesombongan umat manusia. Laut dipenuhi sampah dan minyak, hutan menjadi kering, dan...