Loji (Part I) Tumbal

44 0 0
                                    

Domba pengorbanan.

Mulai sekarang kau akan menerima tubuh kami yang paling suci. Darahmu sudah menerima Pemberiannya. Saat senja, kau akan bergabung dengan persekutuan kami. Saling berbagi dalam anugerahku...

selamanya

***

Langit bersinar dengan tarian kilat, gemuruh guntur yang menggema selama berabad-abad menawarkan pelarian unik ke dunia di mana setiap petir dan tetesan hujan yang jatuh ke genangan air merupakan nada dalam simfoni alam.

"Ayo kak, kita harus segera pergi..." Bujuk Erik, tetapi Elisa menepis tangan Erik sambil meraung memeluk jasad Yoga "tinggalkan aku sendiri!!" 

"De,,nger kak, aku minta maaf atas apa yang terjadi dengan Yoga."

"KENAPA? Maksudku ini semua salahnya, si bajingan egois!" teriak Elisa, suaranya lantang "baik, ini sangat luar biasa!" 

Erik yang menyaksikan itu hanya bisa termenung, ia tak tahu harus berbuat apa. Sambil menyesap rokok dibelah bibirnya ia tak melepaskan pandangan dari sosok Yoga yang terbaring bersama Elisa disampingnya. Wanita itu menangis sejadi-jadinya mengingat wajah adiknya terbayang-bayang di mata.

"Jangan berdiri di sana!!" Bentak Melin yang ikut hanyut dalam kesedihan Elisa. Wajahnya tampak sembab dan ingus yang mengalir di hidungnya karena tak kuasa menahan tangis atas kepergian Yoga

Tak ingin memperkeruh suasana, Erik pergi meninggalkan Elisa dan Melin ke suatu tempat untuk beristirahat sejenak sembari menenangkan diri supaya bisa berfikir lebih jernih. Dari balik dinding basah Erik termenung seorang diri, pikirannya menerawang jauh sambil menatap langit. Ia teringat momen ketika dirinya mencoba menenangkan seseorang yang baru kehilangan kekasihnya di situasi yang sama. Kala itu, Erik berusaha tetap tegar dalam kondisi apapun. Namun kali ini situasinya berbeda.

"Sekarang yang harus kamu lakukan hanya perlu melindungi diri sendiri dan orang-orang disekitarmu, ngerti?" hanya kata-kata itu yang kembali terngiang saat dirinya diposisi terpuruk seperti saat ini.

"Ini semua gara-gara gue!!!" Erik meremas ujung bajunya, rahangnya mengeras dan nafasnya tidak beraturan. Bagai benang kusut, perasaannya seolah tidak dapat tergambarkan lagi. Trauma karena melihat orang-orang terdekatnya terbunuh tepat didepan matanya menimbulkan dampak psikologis yang berat. Erik jatuh tersungkur, air matanya tumpah seakan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Yoga dan sang pendeta. Ia tertunduk memukul tanah merasa tidak berguna sampai depresi.

Elisa dan Melin mendekati Erik yang tertunduk dengan kedua kaki dilipat ke atas dan lututnya ia jadikan penopang kepala.

"Sudahlah, Rik engga perlu ditangisi..." 

"Kak...", Erik bergumam di sela-sela desah nafasnya, "maaf aku sudah gagal"

Meski saat ini hatinya telah hancur berkeping-keping, ia mengerti bagaimana perasaan pemuda di depannya saat ini. Seakan-akan ia tahu persis bagaimana hancur dan terlukanya seseorang yang kehilangan orang-orang yang ia percayai.

Elisa terisak sambil menggeleng "K..kamu engga gagal kok, justru kita yang terlambat menyadari. Maaf udah menghardikmu tadi."

Erik yang patah hatinya ia selalu berkata, "Maafkan aku, maafkan aku." Air mata lelaki itu terus tumpah sampai tak sadar rokok yang baru dihisapnya jatuh.

Melin dan Elisa menghambur memeluk Erik erat, "Bang, maafin Melin juga ya..Yang lalu biarlah berlalu, jangan sia-siain waktu abang dengan bersedih. Kita bisa kok lalui ini bersama." kata Melin dengan nada suara pelan,

BIOPOCALYPSE : ExtinctionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang