Kultus Penghakiman

27 1 0
                                    

Namang, 23 Juni 2030

24 jam sebelumnya.

Awan besar berwarna hitam, dan pastinya dengan air hujan yang menutupi langit. Erik melirik langit yang tertutup awan saat ia Kembali ke desa lalu mempercepat langkahnya. Tapi entah bagaimana angin mendorong punggungnya, seakan mendesaknya untuk bergegas. Meskipun begitu, Erik menahan dorongan itu sambil berjoging, atau bahkan berlari

Lelah dan menyerah, itu tergambar jelas di wajah Erik saat ini. Awalnya, dia sudah muak berurusan dengan para penyintas putus asa lainnya yang juga beralih ke kekerasan dan kanibalisme yang akan menambah lapisan bahaya lainnya. Dia juga ingin meninggalkan tempat ini. Tapi dia sudah berikrar untuk melindungi orang-orang ini. Akses terbatas ke air bersih, makanan, dan perlengkapan medis di lanskap yang hancur akan membuat kelangsungan hidup dasar menjadi sangat sulit. 

Bahkan dia memiliki firasat bahwa orang-orang penghuni desa akan mati kelaparan karena mereka keras kepala, bodoh, lemah, dan tidak layak untuk hidup. Oleh karena itu dia tidak bisa meninggalkan mereka di saat mereka membutuhkannya. Itulah alasannya kenapa dia harus hidup: menghadapi musuh baru, pertarungan baru, dan melindungi orang-orang tak berdaya di sini.

Tetesan pertama air jatuh dari langit, hanya sedikit dan jauh dari jangkauannya. Dedaunan di tanah yang berbau lebih kuat dari biasanya. Keheningan, dipecahkan oleh suara gemericik air dan suara hewan di dunia yang direduksi menjadi hutan belantara yang sebagian besar bermusuhan pra-industri. Kali ini Erik tidak boleh gegabah, mengingat dia juga memiliki saudara perempuan yang menunggunya di suatu tempat. Jadi, dia akan tinggal sedikit lama untuk membantu mereka keluar dari mimpi buruk mereka.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba situasi semakin tak terkendali. Dua orang pria nampaknya tengah menggeledah seorang petani dengan paksa.

"Cepat berikan kami makanan! Kami kelaparan!" Teriak salah seorang pria yang memakai hodie dengan menutupi wajahnya, suaranya lelah tetapi cukup keras untuk dibawa ke telinga ini. Sementara sang pria masih menahan hasrat untuk segera menghajar habis orang tua yang hanya selangkah di depannya

"Kau lihat 'kan ketiga kawanku ini tidak sabar ingin menghabisimu? Itu artinya perbuatanmu sangat tidak bisa ditolerir lagi oleh kami, pak tua."

"Jangan paksa kami berebut makanan. Berikan mereka kepada kami!" Ancam yang lain.

Erik bersembunyi di balik bak sampah berwarna hijau tertutup lumut. Berusaha tak membuat suara sedikit pun. Bahkan nafasnya pun ia tahan untuk menyembunyikan keberadaannya.

"A..aku tidak punya makanan untuk dibagikan.."

"Alaahh...Omong kosong. Hajar dia!"

Ketika seseorang terpojok, mereka akan selalu membuat pilihan terbaik untuk diri mereka sendiri. Inilah yang terjadi pada Penduduk Desa sekarang. Mereka terlihat berebut dan saling pukul karena makanan hampir habis. Masih di tempatnya bersembunyi, Erik mengawasi pergerakan ke empat perampok tadi. Mereka lantas menghajar pria itu dan memojokkannya ke tembok rumah mewah di sana. Sementara ketiga temannya yang lain menendang perutnya hingga tersungkur. Namun, Disaat yang bersamaan, seseorang berhasil memegang dua kepalan tangan mereka dan membantingnya tanah.

"Hei, tenanglah! kita bisa bicarakan ini baik-baik!"

"Apa urusan lo, pengkhianat!"

"Jangan lupa aturan Eden! Atau apa kalian ingin kuadukan ke ketua karena membawa senjata? Kalian semua?"

Keempat perampok pun langsung terkejut dan memasang ekspresi tidak senang. Tiba-tiba pria yang memakai hodie itu mencengkram baju si pemuda dan mengangkatnya ke udara. "Dasar bodoh! Elo selalu saja merusak rencana kami!" Katanya geram, "Apa lo pikir kami keberatan kalo lo sekarang berada di bawah naungan Eden ..."

BIOPOCALYPSE : ExtinctionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang