HOUSE OF ADALINE

62 5 0
                                    

"Gimana pertunjukannya?" tanya Handika saat mereka sudah berada di dalam mobil menuju apartemen mereka di distrik 12. "Coba aku bisa nemenin kamu sampe akhir," lanjutnya dengan nada menyesal.

Ken mendongak dengan wajah berseri-seri. "Luar biasa!" Jawabnya dengan mata yang berkilat-kilat senang. "Ya, sayang sekali kamu nggak ada. Ceritanya, pemainnya, tariannya, musiknya, semuanya sempurna."

Handika memutar kemudi ke kanan. "Gimana kalau besok kita nonton lagi? Katanya pertunjukannya diadakan selama dua minggu penuh."

Alis Ken berkerut. "Sejak kapan kamu mau nonton teater?" Tanyanya curiga.

Handika terkekeh. "Aku mau membuat kamu terkesan, nggak boleh?" katanya.

Ken menatap suaminya dengan perasaan berbunga-bunga. Apakah benar laki-laki di sampingnya ini Handika suaminya? Selama hampir sebelas tahun mengenal suaminya, sepanjang yang ia tahu, Handika jauh sekali dari tipe romantis, amat sangat jarang memberikan kejutan, sangat logis, cenderung cuek, tidak banyak omong, tegas dan langsung pada intinya.

Ia masih ingat betul saat itu, saat ketika akhirnya ia dan Handika memutuskan untuk bersama.

"Turunkan kakimu, Ken." pinta ibunya dengan nada pelan nan lembut sambil meletakkan camilan dan dua gelas jus jeruk ke atas meja. Saat itu Ken sedang duduk di kursi dengan satu kaki terangkat, sementara di depannya seorang laki-laki sedang duduk di atas permadani, ia terlihat serius menyusun potongan-potongan kertas tebal berbagai ukuran hingga membentuk sebuah bangunan atau apa entahlah, tidak terlalu jelas karena masih setengah jadi.

"Kenapa to, bu?" tanyanya santai sambil mengulurkan tangannya mengambil pisang goreng yang baru saja diletakkan ibunya ke atas meja. "Aku biasanya juga begini, ibu nggak pernah protes,"

Ibunya hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

"Mana anak ibu yang katanya kepengin jadi princess?" Sindirnya. Mengingatkan Ken akan keimginan masa kecilnya.

Ken yang sedang membaca tabloid tertawa kecil. "Mom, those were the words of a girl," katanya beralasan. "Now that girl is a lady. Very strong and powerful lady." Lanjutnya dengan nada yang didramatisir.

Ibunya meninggikan kedua alisnya takjub. "Wow, benarkah anak ibu sudah jadi lady? Kenapa ibu baru tahu," komentar ibunya seraya mencubit hidung Ken.

"Itu karena ibu terlalu sibuk sama mas Dev," protesnya tanpa mengalihkan pandangannya dari tabloid.

Sekali lagi ibunya hanya geleng-geleng kepala. "Jangan sebut nama masmu, nanti dia langsung datang mengganggumu." Katanya mengingatkan. "Sudah turunkan kakimu, malulah sama Han,"

Bukannya menurut, Ken malah menaikkan kakinya yang satu lagi dan tertawa. "Tenang saja bu, Han nggak pernah menganggap Ken perempuan." Jawabnya dengan nada bergurau.

"Tidak?"

"Sama sekali."

Handika yang tengah sibuk dengan benda-benda di depannya langsung mendongak dan tatapannya bertemu dengan tatapan ibu Ken yang menatapnya dengan dengan tatapan bertanya.

"Tidak, bukan begitu-"

"Ibu dengar sendiri?" Ken menyela.

"Ibu, tolong jangan dengarkan Ken. Dia tidak tahu apa-apa,"

Ken menjulurkan lidah meledeknya sementara Handika bersikap sebaliknya. Serius.

"Jadi apa yang tidak Ken ketahui?" tanya ibu Ken dengan nada menyelidik.

BEFORE WE FALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang