Siang itu Ken sedang duduk menikmati es krim di teras salah satu kafe yang berada di kawasan Holland Village sembari menunggu Handika saat ponselnya berdering. Ia tersenyum saat melihat layar, Dev. Sudah seminggu ia tidak mendengar suara kakaknya, jadi mari kita dengarkan apa yang ingin dikatakan Dev kepada adiknya.
"Jangan coba-coba merusak moodku yang sedang baik ini, kisanak. Waktumu dua setengah menit, jadi beri aku alasan kenapa aku harus membuang waktuku yang berharga ini untuk mendengar suaramu yang mengerikan itu." kata Ken tanpa basa-basi begitu ponsel menempel di telinga, bahkan sebelum Dev berbasa basi mengatakan halo atau apapun. Ia tidak bisa mencegah bibirnya untuk tersenyum lebar hingga menampilkan gigi-giginya yang berderet rapi itu.
"Wow, wow, tahan omelanmu, Kinanthi!" jawab Dev cepat di ujung telepon. "Aku hanya ingin tahu apa yang kau lakukan disana seminggu ini, kau sudah melupakanku?"
Ken tertawa mendengar gurauan kakaknya. Benar, sudah seminggu ini ia belum menghubungi kakaknya. Tapi bukan berarti ia telah melupakan Dev seperti yang dikeluhkan olehnya. Ia masih menelepon ayahnya setiap hari, berbicara dengan Lin dan Shinta. Hanya saja kakaknya ini sangat sibuk, dia selalu tidak ada di rumah setiap kali ia menelepon keluarganya.
"Salah sendiri sibuk tiap hari," jawab Ken membela diri.
"Jadi, ada apa kamu tiba-tiba ke Singapura? If I remember it correctly, ayah bilang kamu cuma mau liburan. Tapi aku bukan tipe orang yang akan mempercayai sesuatu begitu saja-,"
"Ya, ya, ya," Ken menyela cepat. "You record the facts, analyze, coming up with how and then why, then present conclusions. Oh, I hate science!" Ken menggeram tanpa disadari, membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. Bukan tanpa alasan, kakaknya amat sangat scientific, dia gemar sekali menghubung-hubungkan sesuatu dengan science. Dia tidak mudah percaya dengan suatu hal sampai bisa dibuktikan secara keilmuan.
Sementara itu Dev tergelak di ujung sana. "Ini bukan tentang science, aku serius. Semuanya baik-baik saja kan?"
"Do I sound like I'm not?"
"Ken, Handika memperlakukanmu dengan baik?"
Kali ini nada suara Dev terdengar serius.
"Mas?!"
Ken tidak mengerti kenapa Dev tiba-tiba bertanya seperti itu. Dan jangan remehkan nada suaranya, terdengar tidak main-main.
"Aku cuma kepengin tahu, Ken. Kamu tiba-tiba ke Singapura, negara yang sangat kamu hindari sedunia. Alasanku cukup logis untuk curiga, bukan?"
"Aku baik-baik saja mas, dan Handika nggak pernah memperlakukanku dengan buruk, ingat itu."
"Tentu, tapi kalian nggak ketemu selama berbulan-bulan, jujur saja itu membuatku khawatir. Aku kalau nggak ketemu Shinta sehari, aku langsung uring-uringan. Lihat orang darah tinggi, aku yang ngamuk."
Ken terbahak. Ya Tuhan, bagaimana bisa ia memiliki kakak yang amat blak-blakan seperti itu. "Pas ketemu mbak Shinta masih uring-uringan?"
"No,"
"See? Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, mas. Mas Dev punya segudang pasien yang harus dikhawatirkan, jadi jangan nambah-nambahin pikiran, nanti darah tinggi. Ntar pasiennya pada ngamuk."
Terdengar Dev tertawa lalu menghela napas berat.
"Syukurlah kalau begitu, kayaknya waktuku sudah habis. Having fun, Ken. Hubungi aku kalau ada apa-apa."
Ken mengangguk. "I'll do,"
Sepuluh detik setelah telepon ditutup, Ken jadi melamun. Ia kembali bertanya-tanya kenapa tiba-tiba Dev bertanya seperti itu. Dev memang perhatian, cenderung protektif, tapi baru kali ini kakaknya terdengar seserius itu. Apakah Dev bisa merasakan kalau ada yang sedang tidak beres dengan dirinya? Ya Tuhan, apakah Dev punya indera ke enam? Mengerikan!
KAMU SEDANG MEMBACA
BEFORE WE FALL
RomanceHidup Ken penuh berkat yang luar biasa. Memiliki keluarga yang sangat menyayangi dirinya, suami yang tidak hanya tampan tapi juga mapan dan amat pengertian, serta sahabat yang gila yang akan selalu berada di sisinya apapun yang terjadi. But nothing...