BEFORE WE FALL

62 5 0
                                    


Singapura tidak terlalu buruk.

Hal itulah yang pertama kali dipikirkan Ken saat bangun pagi itu, setelah seminggu lebih di Singapura. Ia menghindari Singapura setidaknya sudah tujuh tahun, sejak ibunya meninggal dunia, di salah satu rumah sakit di negara ini.

Seandainya ia kala itu datang satu jam lebih awal, mungkin ia masih bisa melihat ibunya untuk yang terakhir kali, dalam keadaan masih bernapas. Ia masih bisa meminta maaf atau memaafkan, meskipun mungkin tidak ada yang perlu ia maafkan dari ibunya. Atau setidaknya mengucapkan selamat tinggal.

Namun ia tertahan selama lima jam di Imigrasi. Masalahnya sepele, namanya mirip dengan nama seseorang yang saat itu masuk dalam daftar cekal di sistem keimigrasian pemerintah Singapura. Masalah menjadi rumit tatkala sistem mereka saat itu mengalami gangguan sehingga tidak bisa menampilkan biometrik orang yang masuk daftar cekal tersebut.

Ia tidak memiliki sponsor yang bisa menjamin bahwa ia benar-benar bukan yang bersangkutan. Alasan bahwa ia sedang dalam keadaan darurat rupanya tidak cukup kuat untuk melepaskannya dari dugaan tersebut. Ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu semuanya bisa diperbaiki. Ia ingin marah tapi percuma, ia harus menghargai prosedur yang berlaku. Ia menghindari Singapura bukan karena ia membenci negara tersebut, ia trauma. Singapura mengingatkan ia tentang hal buruk. Kepergian ibunya.

Ketika Ken keluar dari kamar sejam kemudian, ia mendapati suaminya sedang sibuk di dapur. Keadaannya sedikit... kacau. Potongan sayur bertebaran diatas meja dan lantai. Tumpahan air terlihat menggenang di beberapa tempat, beberapa perkakas bahkan tergeletak begitu saja di tempat yang tidak seharusnya. Handika terlihat berdiri di depan kompor memunggunginya, sibuk dengan satu hal yang dikerjakannya dan melupakan suara melengking dari perebus air yang nangkring tepat di sebelahnya.

Saat Ken mendekat hendak mematikan kompor, langkahnya terhenti begitu melihat beberapa cangkang telur sudah berserakan di lantai. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum, lalu tangannya terulur memutar pematik kompor. Menyadari kedatangan Ken, Handika otomatis menoleh dan wajahnya terlihat terkejut.

"Pagi," sapa Ken dengan senyumnya yang cerah.

Handika yang sepertinya belum siap dengan kedatangan Ken hanya bisa mendesah berat dan menatap istrinya itu dengan tatapan penuh penyesalan.

Melihat itu Ken tertawa kecil dan berkata. "Aku mau menunggu apapun hasilnya dan memakannya dengan penuh semangat." Meskipun ia tidak terlalu yakin, bau gosong sudah memenuhi ruangan sejak ia keluar dari kamar, namun ia masih optimis mungkin ada yang masih bisa ditolerir oleh sistem pencernaannya.

Sementara itu Handika tidak berkomentar. Ia memutar tubuhnya mengangkat teflon berisi telur-telur yang sedang dimasaknya, lalu memperlihatkannya pada Ken dengan memasang wajah suram.

Seketika Ken menahan tawanya. Lihat bagaimana nasib telur-telur yang bergizi tinggi itu di tangan suaminya. Telur orak-arik itu memiliki gradasi warna yang bervariasi, coklat pekat hingga hitam legam.

"Kamu yakin mau memakannya dengan penuh semangat?" tanyanya dengan nada kecewa.

Ken menatap suaminya dengan bibir dirapatkan menahan tawa, lalu menggeleng pelan. "There's got to be an exception, right?"

Bahu handika melesak. Segera saja ia meletakkan kembali teflon itu ke atas kompor dengan putus asa.

"Tapi sebenarnya yang sebelah sana mungkin masih bisa dimakan," kata Ken mencoba menghibur hati Handika sembari menunjuk ke arah bagian telur yang berwarna coklat pekat.

Handika menggeleng tegas sambil berusaha menahan tangan Ken yang seperti hendak mengambil bagian telur yang dimaksud.

"No, no, no," Ia menempelkan kedua lengannya ke sisi kepala Ken sehingga wajah Ken menempel di dadanya. "Kita keluar dari sini," katanya sambil berusaha membawa Ken menjauh dari dapur mereka.

BEFORE WE FALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang