"Tumben lo sendirian, nggak bareng Ken?"
Alex bertanya kepada Markus dengan nada santai sembari menuang sambal ke dalam mangkuk baksonya. Ia penasaran karena hari ini temannya itu datang sendirian menemui dirinya dan rekan kerjanya, tidak seperti sebelumnya yang selalu ditemani oleh Ken.
Markus yang saat itu sedang mengaduk isi mangkuknya menggeleng sambil berkata. "Dia izin nggak masuk kantor beberapa hari ini."
"Kenapa? Sakit?" tanya Alex terdengar sedikit khawatir.
Markus kembali menggeleng dan menjawab. "Suaminya dateng."
Kedua alis Alex bertaut. "Suami?"
Markus mengangguk sekenanya sambil mengunyah bakso di mulutnya tanpa menyadari perubahan ekspresi wajah Alex yang duduk di depannya. "Oh. Iya." Katanya tanpa sedikitpun curiga terhadap temannya itu. "Lo kenapa cerita sih sama Ken tentang bos baru di kantor?"
Alex seperti tersadar dari lamunannya. Ia segera ingat kejadian makan malam di rumahnya beberapa waktu lalu. "Memangnya kenapa? Bukannya itu fakta?"
"Ya nggak kenapa-kenapa sih, cuma gue jadi nggak enak aja."
"Kenapa nggak enak?"
"Karena ternyata tujuan utama dia ke Bali sebenernya bukan murni untuk ngurusin kerjaan."
Markus ingat sehari yang lalu Ken meneleponnya dan menanyakan tentang anggapannya yang mengira Ken datang ke Bali untuk mengambil alih posisinya di Kantor.
"Jadi?"
"Reconciliation."
"From what?" Tanya Alex sambil menyipitkan kedua matanya. Sebenarnya ia sudah bisa menebak berdamai dari apa, namun ia ingin memastikan apakah dugaannya benar atau tidak.
"Suaminya. Pernikahannya. Everything."
Mendengar jawaban Markus, Alex terlihat merenung, seperti sedang menatap sesuatu di belakang temannya itu. Namun sebenarnya ia tidak benar-benar sedang memerhatikan sesuatu. Ia melamun.
Markus yang menyadari temannya itu melamun, menengok ke belakang mengikuti arah pandang Alex. Karena tidak melihat apa-apa Markus memanggil namanya.
"Lex?"
Namun sepertinya Alex tidak mendengar.
"Lex!" Panggilnya lagi, kali ini sambil mengayunkan tangannya di depan Alex.
Seketika perhatian Alex mengarah pada Markus dan mengerjap. "Hm, ya?"
"Ada apa?" Tanya Markus cemas. "Lo lihat apaan sih?"
Alex menghela napas. Ia sedang tidak melihat apa-apa tadi. Ia sedang memikirkan sesuatu namun untuk saat ini ia merasa bukan waktu yang tepat untuk menceritakannya pada Markus. "Bukan apa-apa." Jawabnya sambil tersenyum. Berharap Markus percaya bahwa dirinya baik-baik saja. Juga dirinya sendiri.
Namun rupanya Markus tidak percaya begitu saja. Ia jelas-jelas melihat Alex melamun tadi. "Lo nggak apa-apa kan?"
Alex menunduk, lalu mengangguk pelan. "Gue cuma capek aja, banyak pikiran, kurang tidur. Selebihnya gue baik-baik aja."
Markus menatap Alex dengan sebelah alis ditinggikan.
"Hei, look." Markus memperbaiki posisi duduknya, seolah menegaskan bahwa apa yang ingin dikatakannya benar-benar serius. "Gue memang menginginkan proyek ini tapi seperti yang lo katakan tempo hari tentang fair play, gue sama sekali nggak masalah jika menurut kalian memang gue kurang layak untuk proyek tersebut. Gue harap lo nggak terbebani dengan perasaan nggak enak karena gue sohib lo, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BEFORE WE FALL
RomantizmHidup Ken penuh berkat yang luar biasa. Memiliki keluarga yang sangat menyayangi dirinya, suami yang tidak hanya tampan tapi juga mapan dan amat pengertian, serta sahabat yang gila yang akan selalu berada di sisinya apapun yang terjadi. But nothing...