"Cut!" seru sang sutradara untuk yang kesekian kalinya.
Alex yang baru saja melakoni adegan menyeberang jalan terlihat mengembuskan napas berat. Ia berjalan ke arah si sutradara yang terlihat mengerikan di depan layar monitor.
"Lo lagi kenapa, Lex?" tanya si sutradara dengan nada protes setelah melihat hasil gambar yang baru saja diambil. "Nggak biasanya lo kayak gini."
Alex yang sedang ikut mengamati video di layar yang sama tidak langsung menjawab. Ia tidak yakin kenapa. Mungkin karena siang ini panasnya luar biasa. Ini syuting hari kelima ditambah semua pengambilan gambar di lakukan di luar ruangan. Tepatnya di kawasan kota tua. Tempat umum dimana terlalu banyak orang yang berlalu lalang dan si sutradara sengaja tidak meminta clear area sepenuhnya karena menginginkan adegan yang terlihat natural. Akibatnya gangguan datang dari mana-mana, orang minta tanda tangan, minta foto, ngajak ngobrol dan Alex sulit menghindari itu semua yang menyebabkan syuting molor terlalu lama.
"Ini sudah adegan ke lima," gumamnya lagi.
Alex masih belum berkomentar. Masih sibuk mengamati.
Si sutradara mengamati layar monitor sekali lagi sebelum turun dari kursinya dan berjalan ke arah set.
"Coba nanti lo nyebrang dari sini ke sana," teriaknya sambil tangannya menunjuk ke arah seberang jalan. "Terus lo berhenti sebentar, terlihat ragu ke arah mana. Terus disana lo seolah-olah melihat seseorang dan lo ambil arah itu. Gimana?"
Alex mengalihkan tatapannya dari layar monitor ke arah sang sutradara. Sebenarnya setelah melihat adegannya barusan, ia tahu dimana letak kekurangannya. Arahan si sutradara memang bagus, tapi ia punya ide cemerlang di kepalanya untuk improvisasi. Ia yakin si sutradara akan menyukainya.
"Oke," jawab Alex sambil menunjukan jari jempolnya.
Si sutradara kembali ke kursinya. "Kita mulai lima menit lagi," katanya sambil menyambar handuk kecil yang tercantol sembarangan di dekat peralatan pengambilan gambar.
Alex mengangguk menyetujui dan berjalan ke arah kursi di bawah pohon dimana beberapa kru juga disana.
"Panas banget, gila." Gerutu salah seorang kameramen ketika Alex sudah duduk di kursinya dan seorang asisten bergegas memberinya minuman dan mengipasinya dengan kipas portabel.
Alex hanya menanggapinya dengan tersenyum lalu menyandarkan tubuhnya ke belakang. Ya, panas dan lelah. Dua hal yang sama sekali tidak asing baginya, terutama lelah. Tetapi lelah kali ini benar-benar berbeda. Tepatnya akhir-akhir ini dan entah kenapa ia tidak bisa menyingkirkan perasaan lelah itu ketika ia sedang bekerja. Tidak seperti biasanya. Alex sedang lelah secara fisik, mental, dan emosional. Hal yang agak tidak seperti biasanya.
"Ken itu siapa?"
Mata Alex seketika terbuka demi mendengar nama itu. Ketika Alex mengangkat wajah, seseorang sudah berdiri di sebelahnya, menatapnya dengan tatapan yang sama sekali tidak bersahabat.
Alex memutar kepalanya ke kanan ke kiri ke arah orang-orang di sekitarnya lalu beranjak dari duduknya.
"Kita bicara disana," katanya seraya bergegas ke tempat yang dimaksud diikuti si penanya tiba-tiba itu. Ami.
"Dari mana lo tahu tentang Ken?" tanya Alex menelisik.
Ami menunjukkan layar ponselnya. "Seseorang nelpon gue setengah jam yang lalu dan bilang kalau lo berhubungan dengan seseorang bernama Ken," jawab Ami.
"Siapa?"
"Mertuanya Ken," kata Ami ketus. "Cewek yang di foto bareng lo itu Ken?"
Alex tidak menjawab. Ditangkupkannya kedua tangan ke wajah dengan dramatis dan Ami bisa menangkap gerak-gerik itu sebagai jawaban iya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEFORE WE FALL
RomanceHidup Ken penuh berkat yang luar biasa. Memiliki keluarga yang sangat menyayangi dirinya, suami yang tidak hanya tampan tapi juga mapan dan amat pengertian, serta sahabat yang gila yang akan selalu berada di sisinya apapun yang terjadi. But nothing...