PERPISAHAN

4 3 0
                                    

"Aku nggak butuh mediator," Kata Ken tiba-tiba keesokan paginya sambil duduk di seberang ayahnya yang sedang sarapan di meja makan. "Aku juga nggak mau pakai pengacara. Yang aku mau semuanya cepat selesai. Aku dan mas Han bisa menjual semua properti yang kita miliki dan membaginya sama rata, aku sama sekali nggak masalah." Tambahnya sambil menambahkan gula ke cangkir kopinya. Ken sudah memikirkannya semalaman. Meskipun properti yang ia dan suaminya miliki lebih banyak dibeli dengan uang Ken, ia tidak peduli. Ia paham proses penyelesaian harta goni-gini tidaklah mudah. Pasti membutuhkan banyak waktu, pikiran, tenaga belum lagi pihak ketiga dan lain-lain dan lain-lain. Yang pasti akan lebih banyak drama mengingat bagaimana sepak terjang keluarga suaminya. Ia sungguh tidak ingin energinya terkuras untuk itu semua. Ia sudah lelah. Dan untuk pertama kalinya ia merasa sedikit lebih beruntung dengan fakta bahwa belum ada anak diantara mereka yang pastinya akan membuat proses ini semakin lebih mudah dan tidak terlalu menyita segalanya.

"Kamu sudah membicarakannya dengan Han?" tanya ayahnya dengan nada tenang setelah meletakkan gelas berisi jus orange yang baru saja diminumnya ke atas meja. Ken memang terlihat tenang dari luar, tapi ia sepenuhnya paham bahwa apa yang sedang terjadi di dalam diri anaknya adalah sebaliknya.

Ken menggeleng sambil mengoleskan selai nanas ke atas roti panggangnya. "Mas Han pasti akan setuju," ucapnya dingin tanpa melihat ke arah ayahnya.

"Kamu tetap harus membicarakan segala sesuatunya dengan Han." Gagas ayahnya. "Walau bagaimanapun Han masih suamimu. Kalian tetap harus bicara."

Ken menggigit rotinya untuk pertama kali. "Nggak perlu," katanya datar.

"Menurutmu begitu?"

Ken hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.

Ayahnya menghela napas panjang. "Ayah tahu bagaimana perasaanmu,"

"Hancur." Sela Ken.

"Tepat sekali," sahut ayahnya. "Ayah sedang tidak membela siapapun tapi kamu tidak berpikir kalau hanya kamu saja yang hancur bukan?"

Ken tidak menjawab tapi gerakan mulutnya yang sedang menguyah sarapannya memelan.

Karena Ken tidak mengatakan apa-apa, ayahnya melanjutkan. "Banyak yang harus kalian bicarakan. Berdua. Bukan hanya tentang harta goni-gini, ayah juga tidak tertarik dengan itu. Mungkin saja ada banyak hal yang perlu diluruskan, Ken."

Ken menggeleng. "Semuanya sudah jelas, Yah."

"Belum," kata ayahnya tegas.

Ken meletakkan rotinya lalu menarik napas panjang. "Adelia sudah menceritakan semua." Katanya. "Apa ayah sudah tahu kenapa pertunangan mas Dev batal?"

Ayahnya tidak menjawab tapi caranya memandang Ken sudah cukup menjawab semuanya. Ken memalingkan wajah ke arah lain dan bergumam. "Jadi hanya aku yang nggak tahu?"

"Jangan salahkan kakakmu. Dia punya alasan kuat untuk memberi Han kesempatan dan tidak memberitahumu pada saat itu. Dia juga merasa dibohongi sekarang."

"Aku nggak menyalahkan mas Dev, Yah." Ken menegaskan diri. Ia tidak sedang basa-basi hanya untuk menenangkan ayahnya. Ia tahu kakaknya bukan tipe orang yang gegabah terhadap sesuatu.

"Tapi kamu belum menemui atau bicara dengan Dev sejak kamu pulang,"

Ken menunduk menatap rotinya di atas piring. Ayahnya benar tapi bukan karena ia sedang marah pada Dev. Ken hanya tidak ingin merusak kebahagiaan kakaknya yang baru saja menyambut kelahiran putri pertamanya tepat satu minggu yang lalu. Disamping itu Dev saat ini masih di Solo, di rumah mertuanya karena disana ada yang bisa membantu Shinta mengurus dirinya juga bayinya. "Aku hanya nggak mau merusak kebahagiaan mas Dev dan mbak Shinta," lirih Ken. Ia mengangkat kepalanya dan memaksakan sebuah senyum. Tidak ingin membuat ayahnya semakin khawatir, ia lantas berkata. "Aku akan ke Solo besok sama Lin,"

BEFORE WE FALLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang