****
Sesuai perintah sang bunda dari awal, Ara baru saja tiba di toko. Dengan langkah gontai ia berusaha meraih sapu yg berada tidak jauh dari meja kasir.
Belum sempat melakukan pekerjaan itu, seorang lelaki baru saja membuka pintu toko. Ara melongo ketika mengetahui siapa pelanggan pertama nya kali ini, ya jika kalian pikir itu Albi, kalian benar.
Secepat kilat Ara memperbaiki penampilannya, tersenyum manis kepada pelanggan pertamanya supaya ia tidak kapok untuk datang lagi kesini, bukan karena apa Ara sangat mengetahui dengan jelas jika kesan pertama itu sangat penting.
"Selamat pagi, mau pesan apa?" tanya Ara bak pegawai sungguhan.
"Nasi padang."
"Lawak lo."
"Yg kaya biasa aja."
"Kaya biasa?" Ara mengernyit "Jadi lo sering kesini?"
"Hm."
"Pantes mak gue demen sama lo, orang pelanggan setia nya."
"Cepet."
"Sabar kali, mau di bungkus apa makan disini?"
"Terserah lo."
"Gila Al bulu kuduk gue langsung merinding, lo manusia kan?"
"Setan."
"Ko setan bisa masuk sini sih? padahal di atas pintu masuk udah mak gue tempelin ayat kursi."
"Aduh si ganteng udah nangkring disini aja." ceteluk bunda Ririn yg entah dari kapan sudah berada ditengah-tengah antara Ara dan Albi.
"Buset dari kapan bunda disini?"
"Baru aja, sana kalian ngobrol-ngobrol dulu biar bunda bawain pesenan nya."
"Asik gak jadi nyapu sama ngepel." ucap Ara kegirangan.
"Eitss, Albi pulang, maneh siap-siap jadi babu."
"Al tolong bilangin mak gue dong, atau perlu lo ajak gue keluar."
"Cie ceritanya ngadu nih." goda bunda Ririn "Bunda juga punya sesuatu yg spesial, Albi mau denger kan? tadi tuh Ara ng—"
"Bunda!!"
"Kenapa bun?"
"Ara bilang mulai ada rasa sama kamu."
"HEH NGADI-NGADI, JANGAN DI DENGERIAN AL MAK GUE PEMBOHONG!"
"Tapi kalo Albi nembak bakal di terima kan?" tanya bunda Ririn.
"Iya lah, mubazir masa mau nganggurin cogan." jawab Ara tanpa sadar. "E—EH APASI?!"
◦•●◉✿oOo✿◉●•◦
Beberapa kali Ara memijat kepalanya yg terasa pusing, entah karena belum makan atau ia yg terlalu setres memikirkan permasalahan yg sedang ia alami.
Belum lagi makin sore pelanggan malah makin banyak, Ara sempat kewalahan menanganinya, tapi untung saja Albi bersedia membantu ia dan bunda Ririn.
Sudah tidak terhitung berapa kali Albi membantunya, Ara sempat berpikir keras kenapa selalu lelaki itu yg datang di saat-saat ia kesusahan?
"Al udah lo pulang aja sana." perintah Ara, merasa kasihan melihat Albi bolak-balik mengambil pesanan.
"Tanggung."
"Astaga kan lo kesini cuma buat beli kue, bukan ngebabu kayak gini."
"Ara meni gak peka, ituteh tandanya Albi gamau jauh-jauh dari Ara."
"Bunda ya itu mulut pengen banget Ara comot."
"Aku nganterin pesenan dulu ya bun." pamit Albi.
"Aku? gak salah denger gue?"
"Ya iya lah, Albi mah masih punya sopan santun gak kaya maneh."
"Jadi anak bunda tuh sebenernya siapa? Albi atau Ara?"
"Kalo bisa milih, bunda mending jadi ibu nya Albi aja."
"Ck, masukin lagi aja Ara ke rahim." ucap Ara mencebikan bibirnya.
Menatap dari jauh punggung lebar lelaki itu, membuat pikirannya kembali larut dalam kenangan masa kecilnya dulu. Albi kecil yg sangat jail hingga sering membuat nya menangis, sedangkan Bela menjadi sosok panutan bagi Ara dan Albi.
Tanpa sadar Ara tersenyum ketika mengingat itu semua, hidupnya dulu terasa lebih mudah jika dibandingkan dengan sekarang, rumit.
"Alea?" panggil Albi, yg mana langsung membuat pikirannya buyar.
"Hah? kenapa?"
"Itu ada yg mau bayar.""Eh ya ampun, maaf bu."
"Untung cowok kamu ganteng, jadinya saya gak bisa marah."
"Eh l—loh dia bukan cowok saya."
"Ah masa sih? saya tadi liat kamu ngeliatin dia terus."
"L—lah ibunya so tau banget."
Mampus gue ke gep— ucap Ara dalam hati.
"Kalo bukan ya bagus, biar saya jodohkan sama anak saya."
"Ibu jadi bayar gak sih?!"
"Ko nada bicara kamu kayak gitu? gak sopan banget sama orang tua."
"Lah ibu dari tadi ngomong nya ngawur terus."
"Saya ini pembeli harusnya di hormatin!"
"Jadi bendera aja bu nanti saya hormatin."
"Kamu ini ya, kayak gak di sekolahin aja."
"Ibu tau? saya ini juara umum di sekolah."
"Tampang-tampang kaya gini mah biasanya jadi perusuh."
"Dih, ni ibu-ibu satu malah makin ngelunjak ya."
Percekcokan antara pembeli dan pegawai pun masih terus berlanjut, orang-orang yg berada disana hanya bisa melongo, sekaligus takjub. Dimana lagi mereka bisa menyaksikan ini semua, jika bukan di toko kue bunda Ririn.
Albi yg baru keluar dari kamar mandi, sontak saja dibuat kaget oleh teriakan keras yg berasal dari lawan bicara Ara. Dengan cepat ia berlari memisahkan keduanya, meskipun sedikit terlambat namun ia berhasil membuat situasi kembali tenang.
"Saya bakal maafin cewek ini dengan syarat kamu harus foto selfie bareng saya."
"Tobat napa bu, suami ibu nungguin dirumah, istrinya malah keluyuran kaya gini." celetuk Ara.
"Diam ya kamu, saya gak lagi bicara sama kamu."
"Dih, orang mah ngas—"
"Alea udah." tegas Albi.
"Ko gue? harusnya tu ibu-ibu dari tadi mancing kesabaran gue!"
"Udah." ulangi Albi, salah satu tangannya terulur mengusap pundak Ara.
Sialan organ dalam gue lagi ngedisko apa gimana sih ini, ko pada jedag jedug semua — batin Ara.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Alea
Teen FictionTidak ingin dihujat tapi kelakuannya bikin orang lain ngucap astaghfirullah terus, sosok manusia yg tengilnya minta diampunin tapi susah, gak diampunin y gimana y terserah aja Panggil saja ara kalo dipanggil alea dia gabakal noleh, emang so anak nya...