Chapter 6 : Thorny Field

227 24 1
                                    

"Kehidupan adalah perubahan yang alami dan spontan. Jangan menolaknya, karena akan menimbulkan kesedihan. Biarlah sesuai dengan kenyataan. Biarkan mengalir secara natural, berjalan seperti apa adanya."
-Lao Zu-

🎐🎐🎐

Seokjin tidak punya waktu untuk menoleh. Ia harus terus melihat kedepan agar tidak jatuh. Hanya bisa melihat kedepan meski sesekali masih mencoba untuk mengenang kembali masa lalu. Seokjin pikir selama ini hidupnya sudah sangat berat. Sebenarnya mulai darimana semuanya menjadi kacau ?.

Semua masalah ini, Seokjin hanya tak bisa menyalahkan orang lain selain dirinya sendiri. Tiba-tiba saja semuanya jadi berantakan. Ia bahkan tak tahu bagaimana caranya agar semua kembali normal. Yang bisa Seokjin lakukan adalah melakukan apa yang harus dirinya lakukan. Tidak menjadi bahagia maupun sedih.

Menyamankan diri meski harus terperangkap pada Padang berduri. Baginya hidup tidak bisa selalu manis. Entah bagaimana caranya, pilihan untuknya hanyalah untuk bisa terus bertahan, itu saja. Maka kehidupan yang ia jalani akan menemukan beberapa hari yang tenang. Begitulah waktunya berlalu.

Padang berduri miliki Seokjin berupa masa lalu. Meski sosoknya memilih pergi tapi sakit yang ditinggalkan tetap memakan Seokjin hidup-hidup. Meninggalkan banyak luka tak terlihat. Tak ada satupun yang dapat memahami apa lagi mengobatinya. Sakit setiap kali ia terus mencoba baik-baik saja.

Menjalani hari yang berat bukanlah hal yang asing untuknya. Menjadi biasa ditengah badai yang bergejolak sebenarnya cukup melelahkan. Tarikan napas yang dalam dan hembusan yang begitu berat menjadi sebuah kebiasaan sebagai pengganti lisan yang bisu. Masalahnya begitu berat hingga untuk menghela napas pun begitu terasa melelahkan dan sulit.

"Ku lihat kau sepertinya banyak sekali menyimpan masalah sampai menghela napas seberat itu"

Seokjin yang awalnya tak menyadari kehadiran seseorang, lekas menoleh dan mendapati Yoongi yang sudah duduk di sebelahnya sambil tersenyum dan menyodorkan sekotak susu.

"Ambil, aku tidak menerima penolakan" tegas Yoongi kembali menyodorkan susu.

Tak berminat untuk mengambil, Seokjin hanya diam sambil menatap bergantian Yoongi dengan sekotak susu yang ingin diberikan padanya.

"Aku tidak pernah bilang seperti ini pada orang lain. Tapi aku tahu aku tampan, maka dari itu berhenti menatapku dan ambil susu ini bodoh" seru Yoongi sambil melemparkan susu kepangkuan Seokjin.

"Selain menyebalkan kau rupanya juga pemaksa" ungkap Seokjin.

Yoongi memicing sebal, menatap tak suka pada Seokjin yang berkata demikian dengan raut wajah tanpa emosi dan tentu saja tanpa dosa.

"Ya!!! Kau ini.... Ah sudahlah terserah. Aku anggap itu sebagai ucapan terima kasihmu padaku" seru Yoongi.

Setelah percakapan singkat itu, ada jeda sunyi yang menyusup masuk diantara keduanya. Seolah membekukan waktu pada kesunyian. Dua orang yang kini duduk bersebelahan seakan tak tertarik bersuara dan hanya menghabiskan waktu untuk mentap langit. Sampai akhirnya Yoongi memutuskan untuk membuka percakapan.

"Bukankah langit terlihat begitu biru. Sangat menenangkan saat memandangnya seperti ini" Ungkap Yoongi sembari tersenyum lebar menatap langit.

Tak ada sahutan, Seokjin tetap diam dan masih fokus pada apa yang sedang ia nikmati.

"Melihat langit rasanya seperti kita sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Seolah-olah kau sedang berbagi beban dan rasa sakit, bukankah kau juga sedang melakukan itu Seokjin ?" Yoongi menatap Seokjin.

Seokjin melirik singkat pada Yoongi dan kembali menatap ke langit. Tidak berupaya mengelak karena pada dasarnya yang dikatakan Yoongi memanglah sebuah kebenaran. Menatap langit adalah sebagian caranya untuk bisa berbagi beban dan mengurangi rasa sakitnya. Seolah yang dilakukan akan lekas di dengar oleh Tuhan.

"Kau dari tadi tak menanggapi ku sama sekali. Aku bicara pada manusia tapi terasa seperti bicara pada patung batu" ejek Yoongi.

"Tidak bisakah kau cukup duduk dan diam saja. Tidak ada yang memintamu untuk banyak berbicara" balas Seokjin seadanya.

Yoongi yang mendengar perkataan Seokjin pun lekas mematut wajah kesal sambil memberi tatapan tak suka pada orang dihadapannya. Yoongi sebenarnya tidak begitu menyukai Seokjin tapi disatu sisi Yoongi seakan tertarik pada kehidupan Seokjin. Terutama pada luka yang bisa dengan jelas ia lihat dari sikap dingin Seokjin. Seolah dirinya menemukan orang yang dapat memahami hal yang sama. Yoongi yang awalnya ingin abai justru menjadi sangat peduli.

Untuk Yoongi, Seokjin selalu terlihat biru. Warna yang terlihat tenang dan damai tapi juga menyimpan makna kesedihan didalamnya. Entah sakit macam apa yang telah membuat Seokjin memiliki tatapan mata sekosong itu. Semakin memikirkannya Yoongi semakin ingin lebih mengenal Seokjin.

"Seokjin kau ingat janjimu dirumah sakit waktu itu ?" Seru Yoongi.

Seokjin menoleh lantas melempar tatapan penuh tanya.

"Kau ingat bukan ?"

Seokjin mengangguk. Bagaimana mungkin dia bisa lupa pada janjinya pada Yoongi yang bahkan baru hitungan minggu.

"Aku akan menagihnya sekarang. Aku ingin kau membantuku"

"Membantu ??"

Yoongi mengangguk "Ya bantu aku melakukan sesuatu"

"Kau ingin aku membantumu untuk apa ?"

"Aku ingin kau membantuku untuk... Balas dendam" ucap Yoongi serius.

Setelah itu hanya keheningan yang berada diantara mereka berdua. Seokjin kembali membisu. Memaku menatap Yoongi yang masih berupaya mendapatkan apa yang di inginkannya. Mendapatkan jawaban Iya untuk sebuah balas dendam. Seokjin pun menyadari jika Yoongi sama dengannya. Seokjin juga ingin membalaskan dendamnya. Kumpulan rasa benci yang ia simpan untuk seseorang yang telah memporak porandakan hidupnya. Seokjin juga ingin balas dendam.

"Aku juga ingin balas dendam" ucap Seokjin tanpa ragu.



















Hai,
Selamat membaca. Mohon maaf jika banyak typo dan ceritanya terlalu pendek.

Salam
Mikrokosmos 0412 😺

A Thousand PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang