“Every heart has its secret sorrows which the world knows not, and oftentimes we call a man cold, when he is only sad.”
— Henry Wadsworth Longfellow —🎐🎐🎐
Langit masih terlihat berselimut kegelapan kala sepasang mata perlahan terbuka dari istirahatnya. Membawa sang empunya mengerejapkan mata, menyesuaikan pandangan pada ruangan yang sedikit temaram.
Sedikit lama terdiam sembari mengumpulkan serpihan-serpihan nyawa yang masih bertebaran. Seokjin, sosok yang baru sekian menit terbangun itu pun segera beranjak mendudukan dirinya, lalu menghadap kearah jam yang tertempel apik di dinding kamar.
Pukul empat pagi. Setidaknya begitulah yang Seokjin dapat lihat dari alat penunjuk waktu usang yang telah lama ada dikamar. Ia sudah terlalu terbiasa bangun sepagi ini tanpa harus menyetel alarm sebagai tanda pengingat.
Sudah terlalu biasa juga terbangun diantara sebuah kesunyian. Terlalu biasa mungkin sampai rasanya hanya ada perasaan dingin yang menyelimuti dirinya. Sebab tiap kali membuka mata ia hanya akan mendapati dirinya sendirian tanpa adanya senyuman hangat yang menyapa.
Karena sudah terlanjur bangun Seokjin tak ingin menunda aktivitasnya lagi. Beberapa jam dari sekarang ia akan berangkat kesekolah. Dan sebelum itu ia akan bersiap-siap sembari menyelesaikan beberapa kegiatan rumah. Seokjin pun dengan lekas beranjak dari tempat tidurnya lalu keluar dari kamar.
Hal yang pertama didapatinya saat keluar kamar hanyalah sebuah kesunyian. Diapartemen sederhananya ini Seokjin hanya tinggal bersama Ibu. Meski demikian keberadaan Ibu tak serta merta membuat suasana rumah ini sehidup dan sehangat seperti kala masih adanya presensi sang Ayah disini. Setelah mereka bercerai semuanya berubah. Ibunya berubah, Ayahnya menghilang dan tinggalah Seokjin yang coba menata hidupnya dengan baik. Menjadi dewasa untuk dirinya sendiri.
Ditinggal bercerai oleh orang tuanya sejak masih berusia 6 tahun, sudah cukup untuk menjadikan Seokjin mandiri sekian lama. Ibu yang bersamanya sekarang hanyalah Ibu yang sakit dan tak berdaya. Setelah perceraian dan setelah kepergian Ayahnya, Ibu depresi. Padahal di hari perpisahan, Ibu bahkan masih sempat berkata.
'Seokjin-ah mari kita tata hidup kita, Ibu akan menjagamu, kita akan bahagia bersama Oke'
Nyatanya setelah itu yang Seokjin tahu Ibu mencoba mengakhiri hidup. Berteriak kencang didepan anak sekecil Seokjin. Lalu berujar membenci sebab terus melihat bayangan Ayah dalam diri Seokjin.
'Jika aku tak bisa bahagia maka kau juga tidak boleh bahagia'
Tepat dihari itu, Seokjin kecil sudah menyadari jika ia tak boleh hidup bahagia. Hingga kini setelah Seokjin duduk di bangku sekolah menengah atas, ia tetap menutup diri dari segala hal yang akan membuatnya bahagia. Ia paham perasaan Ibu. Jadi ia hendak meninggalkan semua yang bisa ia dapat hanya untuk merelakan dirinya ikut tenggelam dalam kepedihan. Sama seperti yang Ibu rasakan.
Sementara Ayah, setelah semua perceraiannya selesai, ia turut ikut menarik presensinya hingga tak pernah nampak lagi dimata Seokjin hingga sekarang. Padahal Ayah dulu adalah orang yang juga paling mencintai kehadirannya. Orang yang rela melindungi hanya agar putra kecilnya tak terluka.
Malah berakhir terbalik karena menjadi orang paling jahat yang meninggalkan Seokjin bersama ribuan luka yang menganga. Memilih pergi untuk membangun kehidupannya dengan wanita baru dan bahagia. Lalu melupakan Seokjin dan kehidupan ia bersama Ibu yang kini teratung tak tentu arah.
Mencoba membuyarkan lingkaran kenangan yang terputar. Seokjin pun memilih segera beranjak untuk membersihkan diri, lalu melanjutnya dengan kegiatan memasak. Sudah terlalu terbiasa juga untuk menyiapkan segala keperluannya sendiri, termasuk memasak hal yang sederhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Pieces
FanfictionSeokjin bukannya tidak ingin merasakan yang namanya bahagia. Tapi jujur saja ia tidak bisa. Bukan karena tidak mampu meraih, melainkan karena ia merasa jika dirinya tak pernah pantas bahagia. Ribuan potong kenangan menyakitkan membawanya pada kenya...