Chapter 20 : Pathetic

120 18 1
                                    

'And in real life endings aren’t always neat, whether they’re happy endings, or whether they’re sad endings'

🎐🎐🎐

Hana merasa cukup penat dan lelah menjalani hari. Ketika terbangun dari tidur, ia selalu merasa was-was memikirkan apa yang telah terjadi dalam kehidupannya. Hana merasa tak sanggup hidup karena kegelisahan yang entah darimana terus tumbuh dan membesar dalam hatinya. Ia tak jarang berpikir perihal apa ia harus menyerah saja pada hidupnya. Hana terus terpaku pada masa lalu lantas memilih untuk mengabaikan banyak hal lainnya termasuk Seokjin.

Dering telepon yang bergema nyaring bahkan tak membuatnya lekas beranjak dari atas kasurnya. Beberapa kali berbunyi, sambungan telepon tak terangkat itu pun akhirnya mati dan kembali meninggalkan kesunyian. Hana enggan peduli bahkan dengan dirinya sendiri yang kini selayaknya mayat hidup yang hanya tersisa raga tak bertuan jiwa.

Hana membenci saat-saat penuh kesunyian karena ketika sunyi melingkupi hanya ada kenangan buruk yang terlintas dibenaknya. Luka masa lalu yang tak pernah selesai. Luka yang menghancurkan hidupnya. Hana mengasihani dirinya yang tidak pernah bisa menjadi seorang yang sempurna untuk orang lain dan tentu saja sebagai sosok ibu untuk Seokjin. Dia hanyalah orang yang gagal. Hari-hari selalu berakhir dengan dirinya yang menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi.

'Kau ingin bercerai agar bahagia ?' tanya Hana pelan sambil berupaya menahan air mata yang siap tumpah.

'Iya, jika ku pikirkan ini bukan hidup yang ku inginkan. Aku tidak mau hidup berlama-lama dalam penderitaan. Hidup memang menyiksa, tapi aku harus tetap hidup karena sudah terlahir di dunia ini. Aku menginginkan kebahagiaan.' jelas Myung Hae.

Pria itu, seseorang yang bahkan sangat dincintai Hana bisa dengan mudahnya mengatakan segala omong kosong tentang kebahagiaan didepannya. Hana tak habis pikir bagaimana perceraian adalah hal yang membuatnya begitu bahagia sementara dirinya yang harus menanggung luka.

'Lalu, bagaimana dengan kebahagiaanku ?' tanya Hana dengan air mata yang mulai menetes.

Myung Hae menatap Hana dengan tatapan sendu. 'Hana, kenapa kamu menanyakan kebahagiaanmu kepadaku ?' ujar Myung Hae.

Ketika itu, Hana tak lagi bisa menjawab apapun. Hanya air matanyalah yang dapat menunjukkan betapa hancurnya ia atas perpisahan sepihak yang bahkan tak pernah ia duga. Hana selalu mencoba memaklumi Myung Hae. Bahkan ketika pria yang ia cintai setulus hati mengakui dirinya telah memiliki wanita lain dan akan segera memiliki anak. Hana tetap mencoba menerimanya, berharap agar pertemuan kedua mereka setelah permintaan cerai pertama membuat mereka bisa kembali lagi. Tapi semuanya pupus begitu saja. Detik itu kehidupannya benar-benar hancur. Bayangan keluarga bahagia yang selama ini ada dalam benaknya sirna.

Mengingat semuanya seakan memaksa Hana untuk menerima, tapi rasa sesak yang tertinggal tak pernah bisa ia tangani dengan benar. Hana memukul dadanya berupaya meringankan sakit. Hal yang paling Hana benci sekarang hanyalah terbangun dari tidur. Disaat-saat itulah ia hanya akan kembali mengingat hal-hal menyakitkan. Hana hanya ingin terus tertidur dan hari-hari yang ia jalani sejak perpisahan hanya dipenuhi dengan tidur.

Ia tak lagi peduli bagaimana tubuhnya, bagaimana penampilannya atau bahkan pola makannya. Hanya tidur yang tetap bisa membuatnya hidup. Mimpi seakan jauh lebih indah ketimbang dunia nyata. Jika bisa memilih ia akan bertahan di dunia mimpi meski harus merelakan kehidupannya.

'CEKLEK'

Suara pintu kamar yang terbuka membuat Hana lekas mengalihkan atensinya. Meninggalkan sejenak kisah kelam yang sempat terbayang dalam benak. Sosok Bibi Jung terlihat berdiri di depan pintu sambil menatapnya dengan tatapan aneh.

Bibi Jung menghampiri Hana dan langsung memegang kedua tangan Hana.
"Hana, apa kau menerima panggilan telepon tadi ?" Tanya Bibi Jung.

Hana hanya menggelengkan kepalanya. "Tidak aku hanya mendengarnya dan kemudian panggilannya mati begitu saja"

"Apa kau gila, Hana kenapa kau tidak mengangkat teleponnya"

Hana menatap bingung kearah Bibi Jung. Seolah mempertanyakan tentang sikap Bibi Jung yang terlihat begitu marah hanya karena sebuah panggilan telepon.

"Kau tau Seokjin, anakmu sekarang dirawat dirumah sakit. Pihak sekolah sudah mencoba menghubungimu dan tak ada satu panggilan pun yang kau jawab"

"SEOKJIN...SEOKJIN KENAPA ???!!!"

"Seokjin terluka, yang aku dengar ia dipukul oleh seseorang. Aku juga belum tahu pasti kenapa dan bagaimana keadaannya sekarang. Oleh karena itu, bersiaplah kita akan melihat Seokjin sekarang"

Hana terdiam sejenak tapi sejurus kemudian ia menggelengkan kepalanya menolak.

"Tidak... Aku tidak bisa kesana. Aku tidak bisa keluar. Aku tidak bisa berada didepannya" racau Hana dengan tubuh yang gemetar dan tatapan yang bergerak liar. Hana kacau dan terlihat ketakutan.

"Hana tenang... Ku mohon tenangkan dirimu" seru Bibi Jung sambil memegang pundak Hana. Mengguncangnya beberapa kali agar Hana bisa kembali pada kesadaran dan berhenti ketakutan.

"Aku tidak bisa pergi" Hana menggelengkan kepala berulang kali.

"Kenapa ? Dia anakmu, dia jelas membutuhkanmu."

"Aku tidak bisa pergi, aku terlihat sangat menyedihkan. Bagaimana aku bisa menjadi orang yang paling Seokjin andalkan jika aku saja seperti ini."

"Hana kau tidak menyedihkan, hanya saja kau masih terjebak di masa lalumu tanpa berubah. Ketika orang lain menjadi lebih baik kau masih diam ditempat!"

"Itu karena aku masih merasa sedih dan frustasi akan semuanya!" Ucap Hana sambil berteriak.

Melihat Hana yang berteriak tak hayal membuat Bibi Jung geram "Lantas sampai kapan kau akan bersedih ?" Teriak Bibi Jung kesal.

Hana menangkup wajahnya menahan tangis. "Sampai kapan aku merasa sedih ? Jangan bertanya kapan aku akan berhenti merasa sedih! Aku sendiri tak tahu kapan aku akan berhenti merasa sedih." seru Hana frustasi.

Melihat Hana yang mulai terisak, membuat Bibi Jung menarik napas kasar. Terlampau sadar diri jika tidak bisa memaksakan kehendak pada Hana meski sekeras apapun mencoba. Tapi juga tidak bisa membiarkan Hana berlarut-larut dalam masa lalu dan terus mengabaikan Seokjin.

"Jika ada cara untuk mendamaikan dirimu, itu adalah dengan membiasakan diri dengan rasa sakitnya" kata Bibi Jung mencoba memberi saran.

Hana tak terlihat menggubris perkataan Bibi Jung dan terlampau fokus pada tangisnya yang kian mengeras. Bibi Jung tidak yakin tapi Hana mungkin saja masih mendengarkannya. Perempuan paruh baya itu tidak bisa terus-terusan membiarkan Hana berada dalam jurang kehancuran. Pasalnya jurang yang menahan Hana juga akan menahan Seokjin dalam luka yang jauh lebih berat.

"Kau bisa marah seperti kau akan menghacurkan seisi dunia atas apa yang sudah terjadi. Kau bisa menyumpahi dan mengutuk takdir. Tapi ketika tiba saatnya kau berada di penghujung dari semua perasaan sesalmu, kau tetap harus merelakannya."

Setelahnya Bibi Jung beranjak pergi meninggalkan Hana sendirian dikamar. Membiarkan Hana mencerna sedikit perkataannya sambil berharap dapat memberikan perubahan dan membuat Hana semakin tersadar. Sementara Hana hanya bisa memaku terdiam setelah mendengar perkataan Bibi Jung. Hana bimbang haruskah ia merelakan dan bisakah ia merelakan. Hana hanya takut.













Hai,
Selamat membaca bagi para pembaca sekalian yang budiman (kalau masih ada yang baca sih 🤣). Chapter kali ini  di dedikasikan untuk Ibu Hana. Semoga masih nyambung hehehe. Sekali lagi selamat menikmati tulisan yang rada gak nyambung dan banyak typo bye

Salam,
Mikrokosmos0412
😺

A Thousand PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang