"Diantara kita dan perubahan, ada sebuah tembok bernama 'Ego'. Dan tembok itu hanya dapat runtuh jika kita bersama-sama berusaha untuk mendobraknya."
-Unknown-🎐🎐🎐
Seokjin berjalan pulang dengan perasaan yang sama. Perasaan berat yang selalu menyertainya dan entah mengapa dari hari ke hari terasa semakin mengusik perasaan. Sejak kepulangannya dari rumah sakit semuanya menjadi semakin asing. Seokjin tidak bisa bohong karena ia memang sungguh merasakan sendiri perubahan yang kentara jelas dirumah. Suasana yang sebelumnya sepi justru malah semakin dingin. Rumah sudah benar-benar sangat jauh dari kata hangat dan nyaman untuknya pulang.
Rasanya Seokjin ingin sekali untuk tidak pulang beberapa waktu. Tapi disatu sisi ia juga tidak bisa meninggalkan Ibu begitu saja. Jika dipikirkan kembali berpikir seperti itu juga tidak bisa merubah apa pun. Keputusan akhirnya akan tetap sama. Seokjin masih akan tetap melajukan langkah kakinya berjalan pulang menuju kerumah.
Seperti saat ini, Seokjin sadar jika dirinya tinggal beberapa langkah lagi sampai di depan pintu apartemennya. Agaknya berupaya untuk mengambil tempo langkah yang lambat tetap saja tak bisa membuatnya sampai lebih lama. Tepat setelah langkahnya terhenti, Seokjin tak langsung masuk dan hanya mematut diam di depan pintu apartemen sembari memandang kosong kearah kenop pintu.
'Seharusnya aku tidak pulang cepat hari ini' batin Seokjin.
Sekian menit berlalu, Seokjin masih tak bergeming. Seolah enggan membiarkan tangannya memutar kenop pintu dengan mudah dan lekas membawa tubuh lelahnya masuk kedalam rumah. Sial Seokjin ingin lari saja rasanya. Tapi ia tidak punya tempat lain untuk lari. Tidak mungkin juga untuk berada di tempat Bibi Jung sepanjang malam meski Seokjin yakin jika Bibi juga tidak akan keberatan. Sayangnya dirinya sendirilah yang merasa merepotkan.
Seokjin mencoba meyakinkan dirinya sekali lagi. Hal seperti ini bukan hanya terjadi sekali dua kali, jadi dirinya pasti terbiasa. Rumah yang sepi dan sunyi adalah bagian dari keseharian yang harus ia lewati selama bertahun-tahun. Jadi mengapa harus lari. Dan setelah meyakinkan dirinya sendiri, Seokjin pun lekas memutar kenop pintu dan masuk.
"Aku pu..." ucapan Seokjin terhenti tatkala matanya menangkap suasana rumah yang terlihat berbeda dari biasanya. Sekarang semuanya terlihat sangat terang dan lebih rapih. Selain itu Seokjin juga mencium aroma masakan yang menguar disekeliling ruangan. Seokjin tidak bisa berkata apa pun yang ia tahu rumah ini terlihat sangat hidup dimatanya sekarang.
Melupakan sedikit keterkejutannya, Seokjin kembali berpikir siapa gerangan yang sekiranya tengah memasak di dapur. Mencoba menebak apakah itu ulah Bibi Jung membuat Seokjin bergegas menuju arah dapur. Namun ketika matanya pertama kali menangkap sosok itu, Seokjin justru dibuat terkejut. Sosok wanita itu bukanlah Bibi Jung melainkan Ibunya.
Hana, sosok yang kini tengah sibuk memasak itu pun tampak tak sadar sedikit pun perihal kehadiran Seokjin yang berdiri tak jauh dari tempatnya memasak. Agaknya juga tak merasa terganggu sama sekali meski Seokjin kini menatapnya lekat. Seokjin tak berniat untuk mengintrupsi sedikit pun dan memilih diam seakan menikmati momen yang sangat jarang ia lihat.
Selama ini hanya Seokjin seoranglah yang sering berdiri ditempat masak itu. Hanya mampu memasak masakan sederhana atau menghangatkan makanan pemberian Bibi. Tapi kini rasanya begitu aneh tapi juga terasa begitu hangat secara bersamaan ketika ia melihat jika sosok wanita yang begitu dirinya rindukan kembali mengambil tempatnya dirumah. Seokjin bahkan sampai lupa berkedip. Seolah enggan membiarkan satupun gerakan luput dari matanya.
Tapi tak lama kemudian Hana berbalik sambil membawa hasil masakan yang baru saja selesai. Hana berjengit terkejut setelah pandangannya menemukan sosok Seokjin yang berdiri diam sembari terus memandang kearahnya. Anak dan Ibu itu bahkan saling bertatapan. Tak ada yang berupaya memulai percakapan pun bahkan untuk melakukan hal kecil seperti saling menyapa.
Hana nampak tersenyum canggung. Berupaya membuat senyum senatural mungkin tapi nyatanya tetap saja tak bisa menutupi kekakuannya. Hana ingat ia bahkan sudah sangat lama tidak tersenyum terlebih lagi di depan Seokjin.
"Oh Seokjin, ka-kau sudah pulang. Se-selamat datang. Ibu ba-baru saja selesai memasak, kemarilah kita makan bersama" ucap Hana terbata sembari kembali menyematkan senyum canggung milikinya.
Seokjin tersenyum lebar dan menatap Ibu dengan mata yang memburam "Eum aku pulang Ibu" ucapnya dengan suara bergetar. Tak lama setelahnya Seokjin tak lagi bisa menahan tangis yang akhirnya kini pecah.
Setelah mendapati Seokjin yang tiba-tiba menangis, tanpa sadar Hana segera berlari menuju Seokjin. Membawa anak itu masuk kedalam pelukannya. Hana yang tak lagi bisa menahan haru dan perasaan rindu yang meluap-luap pun turut serta menangis. Memeluk Seokjin seperti sekarang membuat Hana tersadar bahwa begitu banyak kesalahan yang telah ia lakukan. Bagaimana anak yang dulunya begitu kecil kini sudah tumbuh begitu besar dan jauh lebih tinggi darinya. Anak yang dulu akan hilang setiap masuk kedalam pelukannya sekarang telah menjadi remaja yang tampan. Berapa lama waktu yang telah ia lewatkan sampai tak tahu Seokjin bahkan sudah tumbuh sebesar ini.
"Maaf...." bisik Hana diikuti kecupan hangat yang ia berikan dipuncak kepala Seokjin.
"Aku merindukan Ibu" ucap Seokjin sembari mengeratkan pelukannya.
"Maafkan Ibu karena membiarkanmu tumbuh seorang diri. Kau berhak membenci Ibu karena Ibu memang layak untuk kau benci" ucap Hana terisak.
Seokjin yang masih berada dalam pelukan sang Ibu menggelengkan kepala pertanda tak setuju. "Aku tidak akan membenci Ibu. Aku tidak akan bisa karena aku sangat-sangat merindukan Ibu"
Hana terenyuh mengetahui Seokjin bahkan tidak sekalipun membecinya dan justru merindukan dirinya sekalipun ia telah begitu banyak berbuat dosa padanya. Hana telah begitu lama mengabaikannya, tak memberinya sedikit kesempatan untuk lebih dekat, dan tak memberinya banyak kasih sayang. Tapi Seokjin bahkan masih bisa merindukannya. Sungguh perasaan bersalah itu kini benar-benar menjadi sangat besar.
"Maaf Ibu begitu banyak salah padamu. Ibu melepas malaikat seperti mu dan malah berfokus pada rasa sakit Ibu sendiri. Ibu benar-benar egois" ucap Hana tertunduk malu.
"Aku tak masalah selama Ibu bisa menyembuhkan luka Ibu. Aku tak masalah menunggu untuk waktu yang lama. Aku tak masalah asalkan aku tetap bisa bersama Ibu" jelas Seokjin.
Hana melepaskan pelukannya dari Seokjin. Menyeka lembut air mata Seokjin dan menangkup wajah anak laki-lakinya itu dengan kedua tangannya. Hana menatap wajah Seokjin lamat-lamat. Memuaskan hasrat rindunya yang begitu dalam. Anaknya sangat tampan dan Hana semakin merasa bersalah sebab telah begitu kejam meninggalkan Seokjin hanya karena enggan mengingat mantan suaminya melalui wajah itu. Wajah tak berdosa itu, Hana bahkan melewatkan semuanya dengan dalih tak ingin melihat sosok yang menghancurkannya padahal itu hanya bayangan dirinya sendiri. Mereka memang mirip tapi Seokjin tetaplah Seokjin. Hana hanya dapat menyesali egonya.
Hana tidak bisa menahan tangisnya yang kian menjadi. "Aku Ibu yang buruk dan aku meminta maaf untuk semua yang telah aku lakukan. Aku sangat-sangat menyayangimu" Hana mengecup kening Seokjin sangat lama sebelum akhirnya kembali menatap Seokjin.
Air matanya tumpah dan derainya tak tampak akan segera mereda. Tapi Hana tetap berusaha menyematkan senyum sembari mengelus pelan pipi Seokjin. "Ibu mungkin tidak bisa dan juga tidak berhak meminta pengampunan atas segala dosa yang telah Ibu perbuat padamu. Tapi Ibu mohon biarkan Ibu memperbaiki semuanya sekali lagi. Mari kita hidup untuk waktu yang lama bersama. Apa kau mau Seokjin ?" tanya Hana yang langsung dibalas anggukan oleh Seokjin.
Setelahnya mereka berdua kembali berpelukan. Meluapkan semua perasaan rindu yang telah tertimbun cukup lama. Malam ini satu kartu takdir milik Seokjin telah dibalik. Sosok yang ia rindukan begitu lama kini telah kembali. Seokjin tidak ingin memikirkan bagaimana kedepannya semua akan berjalan atau bagaimana bumi memutuskan untuk berotasi karena yang Seokjin tahu hidupnya hanya akan berotasi disekitar Ibu dan Seokjin hanya ingin menikmatinya sekali lagi dalam lembaran baru.
Hai,
Selamat membaca semua.
Jangan lupa streaming The Astronaut 🚀😉Salam
Mikrokosmos0412 😽
![](https://img.wattpad.com/cover/246191683-288-k111015.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Pieces
FanfictionSeokjin bukannya tidak ingin merasakan yang namanya bahagia. Tapi jujur saja ia tidak bisa. Bukan karena tidak mampu meraih, melainkan karena ia merasa jika dirinya tak pernah pantas bahagia. Ribuan potong kenangan menyakitkan membawanya pada kenya...