Chapter 15 : Affannato

159 22 1
                                    

"Tak ada yang lebih menyakitkan dari kepedihan yang tak bisa ditangiskan"
-DL-

🎐🎐🎐



Hidup menjadi sebuah perjalanan yang begitu pahit. Seokjin tak bisa tidur dengan nyenyak setiap malam karena dipenuhi perasaan kesepian dan juga penuh amarah. Belakangan ini juga ia sering kali semakin merasa sangat membenci dirinya. Seokjin kira akan membaik seiring berjalannya waktu, ternyata ia hanya semakin parah. Hidup sungguh membuatnya kebingungan. Melihat orang-orang di luar sana, Seokjin merasa seperti hanya dirinya yang hidupnya tak berjalan dengan baik.

Seokjin pernah berpikir ia tak perlu menangis. Menjadi kesepian adalah caranya menjadi manusia. Hidup adalah tentang bagaimana ia harus menahan kesepian. Seokjin rasa beberapa hal tidak bisa terjadi sekeras apapun ia berusaha. Dirinya dan Ayah memang tidak ditakdirkan bersama. Seperti itu juga sebenarnya ia yang tak selalu bisa untuk tidak menangis. Terkadang nyatanya ia ingin menangis dan bertanya pada orang lain, apa sekiranya salah dirinya hingga ia harus dihukum seperti ini. Tapi ketika ia membuka matanya dan melihat kesekitar tak ada seorang pun yang bisa ia tanyai.

Sejujurnya setelah hari itu dan semua hal yang ia alami tak ada satupun hal yang membuatnya baik. Bahkan ia harus menghindari beberapa hal termasuk juga menghindari Yoongi. Seperti hari ini setidaknya ia harus berlari menjauh lantas memilih ruang musik sebagai tempatnya menenangkan diri. Tempat itu sepi dan cukup damai untuk hati Seokjin yang sedang tak karuan.

Memilih sudut paling nyaman Seokjin memastikan ia tak benar-benar lupa bagaimana caranya bermain piano. Seokjin membencinya tapi harus diakui jika piano selalu menjadi hal yang bisa melepaskan dirinya dari beban. Seokjin sudah sangat lama tidak bermain karena pada dasarnya ia berhenti untuk menghormati Ibunya yang tidak lagi menginginkan permainan piano.

Seokjin ingat cinta pertama Ibunya adalah Piano. Semasa muda Ibu merupakan seorang pianis. Tidak terkenal tapi ia sering mengikuti beberapa perlombaan sewaktu sekolah dan kuliah. Seokjin juga ingat kali pertamanya memainkan piano bertepatan dengan diadakannya acara festival seni di TK. Sembari menyelami kenangan yang tiba-tiba menyeruak, Seokjin menekan tuts-tuts piano dengan lembut. Memberikan irama indah dan menenangkan.

'Ayo bermain bersama Ibu, kita akan perlihatkan ini pada Ayah saat festival nanti' Ibu tersenyum menatap mata Seokjin.

'Ibu akan bermain bersamaku kan'

'Tentu saja karena Ibukan menyukai Seokjin'

'Aku lebih menyukai Ibu. Lebih... Lebih... Lebih suka' ucap Seokjin sembari membuat gestur berupa lingkaran besar.

Ibu tersenyum gemas lalu menempelkan dagunya ke puncak kepala Seokjin sambil sesekali memberi kecupan.

'Ibu penasaran darimana asalnya anak setampan ini ya ? Anak siapa ini ya ?'

'Anak Ayah dan Ibu'

'Aduh... Aduh pintarnya. Kamu adalah anak Ayah dan Ibu yang paling berharga di dunia ini'

Waktu pun berlalu begitu cepat. Hari festival seni pun akhirnya tiba. Seokjin begitu bahagia. Mungkin itu hari paling bahagia yang pernah ia ingat sepanjang hidupnya. Ia bermain penuh dengan kecerian meski tahu Ayah mungkin akan datang terlambat dan melewatkan penampilannya. Tapi Seokjin bahagia karena tetap bersama Ibu.

Sepanjang acara Ibu tetap tersenyum, berupaya menghibur dirinya yang agak sedih karena Ayah yang ternyata benar-benar melewatkan penampilan mereka berdua. Acara selesai tapi Ayah tak kunjung datang. Di luar, waktu itu bahkan turun hujan cukup deras. Semua orang satu persatu pergi. Tinggallah Ibu dan Seokjin berdua.

'Seokjin tunggu sebentar ya, Ibu akan menelpon Ayah dan memintanya menjemput kita'

Seokjin hanya mengguk patuh dan ikut mendengarkan percakapan Ibu ditelepon.

'Halo kita sudah selesai kamu dimana ? Disini Hujan dengan deras bisa tolong jemput dan sekalian bawakan payung juga'

'Tidak bisa, aku sibuk jangan manja. Pulang naik taksi saja'

Setelahnya hanya hening. Ibu menutup teleponnya dan hanya diam.

'Ibu...'

Seokjin menoleh lantas mendapati Ibunya yang menitihkan air mata dalam diam. Seokjin tidak terlalu memahami waktu itu. Tapi sekarang ia sadar jika masa bahagianya saat itu perlahan-lahan mulai sirna.

Di detik permainan pianonya yang akan mendekati konklusi, Seokjin memilih untuk menutup kembali semua kenangannya. Mengakhiri semuanya dengan satu tekanan tuts terakhir yang menjadi penutup permainannya. Dan nyatanya lagi-lagi Seokjin menangis. Setelah tangannya berhenti bermain, air matanya justru jatuh. Dia membungkuk menahan isakannya agar tidak keluar. Punggunya bergetar hebat.

"Aku tidak tahu kenapa kau menangis, tapi permainan pianomu tadi sangat indah" sebuah suara mengingterupsi keheningan yang sebelumnya terasa dominan dalam ruangan.

Seokjin lantas cepat menyeka air matanya dan berbalik menghadap sumber suara. Mendapati seorang siswa yang duduk di dekat meja guru dengan tampilan seperti orang yang baru saja bangun dari tidur.

"Bukankah kita sudah dua kali bertemu, tapi kenapa setiap kali bertemu kau selalu saja terlihat seperti itu"

"Maksudmu ?"

"Iya... Em itu setiap kali aku melihatmu kau selalu terlihat sedih. Ngomong-ngomong kau tahu aku bukan ?"

"Kim Namjoon ketua Ekskul Seni" jawab Seokjin singkat jelas dan tegas.

Siswa bernama Namjoon itu lantas tersenyum bangga.

"Kau Kim Seokjin bukan" ucap Namjoon sambil mengeja Nama pada seragam Seokjin.

Seokjin tidak mengiyakan dan memilih untuk cepat beranjak pergi. Membawa langkahnya cepat menuju kearah pintu.

"Kau berbakat, ikutlah Ekskul seni. Aku memintanya secara terhormat"

Seokjin yang nyaris memutar kenop pintu berhenti dan mengambil jeda sebentar. Membalik tubuhnya agar kembali bertemu tatap dengan Namjoon.

"Jika tidak masuk, aku akan terus mengejarmu sampai kau masuk ke ekskul seni" ujar Namjoon.

"Terima kasih tapi aku tidak tertarik bermain musik" setelahnya Seokjin keluar begitu saja meninggalkan Namjoon seorang diri di dalam ruangan.

Namjoon tersenyum setelah Seokjin pergi. Setelah hari itu Namjoon sebenarnya semakin penasaran pada sosok Seokjin. Anak itu berbeda tidak seperti yang lainnya karena Namjoon merasa anak itu penuh dengan rahasia. Penuh dengan perasaan marah dan kecewa oleh karena itu juga ia benar-benar tertarik. Namjoon semakin ingin dekat dengan Seokjin. Setidaknya ia akan berusaha menjadi temannya. Pasti.


























Hai,
Makin kesini kayaknya cerita mulai aneh, jadi maklumin ya kalo ceritanya jelek. Semoga cerita ini bisa nemu kata ending 😌

Selamat membaca ya hehe
Salam
Mikrokosmos0412

A Thousand PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang