"Di tengah rasa tragedi atau kehilangan, terkadang menangis tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga cara untuk menyelami kembali kenangan orang yang telah hilang"
-Unknown-
🎐🎐🎐
Seokjin berharap akan adanya lampu peringatan sebelum nasib buruk yang tiba-tiba datang. Ketika menyadari semua hal yang telah terjadi dengan begitu singkat hanya ada rasa sakit yang tak terhindarkan. Dirinya belum siap. Tidak, mungkin yang lebih tepat dirinya memang tak akan pernah siap menerima semua kenyataan pahit yang harus ia saksikan hari ini.
Seokjin hanya meninggalkan Ibu sebentar. Tapi ketika hendak kembali menghampiri Ibu diseberang jalan Seokjin justru harus melihat Ibu yang tergeletak tak berdaya setelah di tabrak sebuah mobil tepat di depan matanya. Kejadian begitu cepat hingga Seokjin bahkan tak sempat untuk berlari meraih Ibu. Lidahnya kelu dan tubuhnya benar-benar mematung sejenak. Otaknya tidak bisa memproses apa yang baru saja terjadi.
Beberapa orang mulai berlarian dan ada juga yang berteriak histeris. Seokjin tidak tahu harus berbuat apa. Seokjin tidak tahu harus bagaimana. Tanpa pikir panjang ia melepaskan semua barang belanjaannya dan lekas menyebrang melewati lalu lintas yang padat. Mengabaikan suara klakson yang menggema atau decitan suara rem mobil yang berusaha menghindari dirinya yang berlarian dan bahkan sampai berhenti untuk sekedar menghindari agar tidak menabrak dirinya. Seolah tak peduli akan keselamatannya sendiri. Satu-satunya tujuan yang dimiliki Seokjin hanyalah menghampiri tubuh Ibunya.
Seokjin datang bersimpuh dihadapan tubuh Ibu yang tak berdaya. "Tidak... Tidak...ku mohon jangan begini" Seokjin mengulurkan tangannya meraih tubuh Ibu.
"Jangan begini Ibu... Ku mohon jangan begini" Seokjin lantas memeluk tubuh sang Ibu. Membiarkan dirinya sendiri berlumuran darah. Tubuhnya gemetar menahan takut yang tak terbendung.
"IBU BANGUN KU MOHON... BUKA MATAMU" Seokjin berupaya menyadarkan Ibu dengan menepuk pelan pipi Ibu. Namun tubuh itu tak juga bergeming. Kelopak mata itu pun tak kunjung terbuka.
"TOLONG... SIAPAPUN TOLONG BANTU IBUKU. TOLONG... KU MOHON... TOLONG AKU" teriak Seokjin.
Tak berselang lama dengan beberapa bantuan orang-orang disekitar yang berinisiatif menolong, sebuah ambulans pun datang ke lokasi kecelakaan. Beberapa petugas berlarian untuk segera memberi tindakan pertolongan. Seokjin yang tak juga bergerak dari tempatnya terpaksa ditarik menjauh agar tidak menghalangi petugas medis menjalankan tugasnya.
Sempat memberontak karena berupaya mendekati sang Ibu membuat petugas medis lainnya harus menariknya menjauh dan terpaksa memegangi tubuh Seokjin.
"Detak jantungnya lemah kita harus membawanya kerumah sakit segera" teriak seorang petugas medis.
Melihat tubuh lemah Ibu yang dipindahkan ke brankar dan dibawa masuk ke ambulans membuat Seokjin sekuat tenaga melepaskan diri dan ikut berlari masuk kedalam ambulans yang hendak segera pergi menuju rumah sakit.
"Ibu... Ibu tidak boleh meninggalkan aku. Ibu tidak boleh mati" Seokjin merapalkan kalimat yang sama berulang kali di dalam ambulans selama perjalanan mereka ke rumah sakit. Ia tak melepaskan genggaman tangannya pada Ibu. Memegangnya dengan erat tanpa peduli seberapa kacaunya ia dengan lumuran darah yang menempel disekujur pakaiannya. Satu-satunya hal yang terbersit dalam benak hanyalah keinginan untuk terus berada disisi Ibu.
"Ibu. Ibu tidak boleh pergi seperti ini" Seokjin menangis. Tangannya yang gemetar berusaha membawa tangan Ibu yang terkulai lemah ke depan wajahnya dan terus menciuminya.
"Ibu tidak boleh meninggalkan aku seperti ini" lirihnya yang terdengar disela tangisan yang semakin menjadi.
Seokjin tidak rela, bagaimana mungkin dua bulan yang baru mereka berdua jalani hilang begitu saja. Bagaimana mungkin kebahagiaan yang baru saja ia rasakan kini kembali menjelma menjadi rasa sakit yang jauh lebih menyesakkan. Seokjin mempertanyakan bagaimana takdir benar-benar mempermainkan kehidupannya. Seolah tak suka melihatnya bahagia dan kini malah mengambil satu-satunya semesta yang ia miliki.
"Ibu mari bersama hanya untuk satu hari saja. Bersama denganku hanya satu hari saja. Satu hari saja kumohon" pinta Seokjin lirih dihadapan Ibu dengan tangan yang tak lepas menggenggam erat.
Sementara wanita yang ditangisi kini hanya terkulai lemah di atas brankar dan tak dapat lagi mendengar permohonan Seokjin. Beberapa petugas paramedis juga tidak dapat berbuat apapun. Tak juga dapat menghalangi Seokjin yang terus berusaha pada hal yang nampaknya akan berujung sia-sia. Mereka menunjukkan simpati dan rasa duka. Tapi nyatanya tak ada yang bisa benar-benar merasakan perasaan sakit ketika berada di posisi Seokjin.
"Ibu kumohon kau sudah berjanji akan memasak masakan kesukaan ku hari ini. Ku mohon bangun bu. Aku ingin makan masakan Ibu sekarang" pinta Seokjin sambil terisak.
Tak lama setelahnya tubuh Ibu tiba-tiba kejang. Seokjin yang kebingungan tak dapat berbuat apapun. Sementara beberapa petugas medis yang ada mencoba kembali mengambil alih. Seokjin pun dengan terpaksa melepaskan genggamannya dan menyingkir untuk membiarkan petugas-petugas tersebut menyelamatkan Ibu.
"Nafasnya melemah" ucap salah satu petugas medis sambil memasangkan masker oksigen.
"Kita harus cepat keadaan pasien sangat lemah dan membutuhkan perawatan intensif segera" sambung petugas tersebut.
"IBUKU... KUMOHON SELAMATKAN DIA. KUMOHON APAPUN LAKUKAN APAPUN... TOLONG SELAMATKAN DIA" teriak Seokjin frustasi.
"Kau harus tenang, kami akan berusaha yang terbaik" seru salah satu petugas medis wanita berusaha menenangkan Seokjin.
"Ku mohon jangan tinggalkan aku bu. Ku mohon tetaplah hidup dan bertahan" racau Seokjin.
Tapi sayang, sekali lagi takdir memilih untuk tidak memihak pada Seokjin. Ibu yang sempat ditolong dengan bantuan oksigen kembali mengalami kejang. Dan setelah beberapa waktu wanita lemah itu nyatanya tak lagi bisa bertahan. Seokjin melihat dengan matanya sendiri bagaimana Ibu menghembuskan napasnya yang terakhir. Tapi Seokjin tetap tidak bisa mempercayainya.
"TIDAK... TIDAK... KUMOHON BU" teriak Seokjin histeris. Ia merangkak mendekati tubuh sang Ibu dan mencoba menggoyangkan tubuh yang sudah tak bernyawa itu sambil berharap jika hal itu akan berhasil membawa Ibu kembali bersama dengannya.
Tak ada tanda untuk menyerah. Seokjin tetap berupaya mengguncang tubuh Ibu berharap setidaknya tubuh itu merespon. Guncangan pelan itu kini berubah menjadi lebih kuat. Di ikuti tangis Seokjin yang semakin histeris. Beberapa petugas medis tak sampai hati melihat keadaan Seokjin. Tapi mereka jauh lebih mengasihani tubuh tak bernyawa mendiang yang terus didekap dan diguncang oleh Seokjin.
Salah satu petugas medis mengulurkan tangan mencoba mencegah kegiatan Seokjin agar tidak terus berlanjut. "Sudah jangan seperti itu. Kasihan tubuh Ibumu" ujar petugas itu pelan.
"Maaf karena kami kehilangannya. Kami sudah berusaha semampu kami" petugas itu mengusap lembut punggung Seokjin yang masih terasa bergetar karena isak tangis yang belum juga mereda.
Seokjin masih terus berpikir kalau ini semua hanyalah bagian dari mimpinya. Mencoba mencerna semua yang telah terjadi dan masih berharap ini tidaklah nyata.
'PLAK!!!'
Satu kali.
'PLAK!!!'
Dua kali.
'PLAK!!!'
Tiga kali.
Seokjin terus menampar dirinya sendiri. Berharap dengan begitu ia bisa bangun dari mimpi buruk. Tapi bahkan hingga pipinya memerah ia tak kunjung bangun dan terus melihat tubuh Ibu yang terbaring dengan berlumuran darah.
"BANGUN!!!!... BANGUN!!!" Racau Seokjin sambil mempercepat tamparan pada pipinya.
"Ya!!! Hentikan kau menyakiti dirimu sendiri. Nak sadarlah" salah satu perawat mencoba menahan dan menyadarkannya. Melihat celah saat Seokjin tenang perawat itu lekas menarik masuk kembali Seokjin kedalam pelukannya.
Tak ada perlawanan. Satu-satunya yang terdengar hanyalah suara isak tangis. Semua yang ada dalam ambulans hanya dapat terpaku diam. Mematut pada sunyi beserta duka yang ditinggalkan. Sementara untuk Seokjin yang tertinggal hanyalah luka dari sebuah kehilangan.
Hai,
Selamat membaca semuanyaSalam
Mikrokosmos0412 😺
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Pieces
FanfictionSeokjin bukannya tidak ingin merasakan yang namanya bahagia. Tapi jujur saja ia tidak bisa. Bukan karena tidak mampu meraih, melainkan karena ia merasa jika dirinya tak pernah pantas bahagia. Ribuan potong kenangan menyakitkan membawanya pada kenya...