Chapter 8 : Repair

212 23 1
                                    

"I'm not sick, I'm just devastated"
-Unknown-

🎐🎐🎐

Dalam sebuah kehidupan akan ada masa dimana seseorang mengalami hari-hari yang begitu berat dan melelahkan sepanjang 365 hari yang mereka miliki. Menghabiskan hampir 24 jam dalam seminggu mereka dengan menghela napas yang begitu sulit. Kehidupan tak berhenti hanya karena seseorang memiliki masa yang berat dalam kehidupannya.

Sangat wajar jika memiliki masalah dalam kehidupan. Seperti kebanyakan orang, Seokjin juga terjebak dalam banyak hari yang melelahkan. Untuknya tidak hanya 365 hari saja kehidupannya terasa berat. Entah berapa banyak hari semenjak perpisahan yang terjadi antara kedua orang tuanya. Dirinya hanya tahu jika detik itulah ia harus memulai kehidupan barunya.

Tidak ada yang bisa menetap. Semua yang hadir di kehidupannya hanya sekedar singgah. Kerap kali mencoba untuk menjadi biasa tetap tak bisa membuatnya benar-benar menutupi kenyataan jika ia tumbuh dan melalui semuanya sendirian. Meski demikian Seokjin tak terlalu memusingkan kehidupannya. Ia hanya mengikuti alur. Melawan juga tak akan mengubah apapun dalam kehidupannya.

Seokjin juga tak berusaha untuk mendambakan kasih sayang orang lain. Enggan pula mencoba pergi untuk sekedar menemukan sebuah makna. Karena dirinya percaya makna dalam kehidupan bukanlah sesuatu yang dicari tetapi harus diciptakan. Cukup menjadi seperti dirinya yang sekarang sudah membuat Seokjin merasa puas dan baik-baik saja. Meskipun semuanya hanya kebohongan belaka.

'Kau tidak akan menjadi sangat egois jika merasakan sebuah kebahagiaan. Tidak ada yang salah untuk menjadi bahagia. Jika Ibumu memilih untuk tidak bahagia bukan berarti kau juga harus begitu'

Seokjin tiba-tiba kembali teringat perkataan Hyonsu seminggu yang lalu. Perkataan yang membuat Seokjin dan Hyonsu mau tak mau harus berakhir bertengkar. Seokjin tak bisa menyalahkan siapapun. Dirinya sadar dan paham betul jika Hyonsu berniat membantu. Hanya saja Seokjin tak bisa sedemikian tega meninggalkan Ibu hanya demi mengejar sebuah kebahagiaan.

'Kata bahagia tidak bisa membuatku benar-benar bahagia. Untuk apa mencari kebahagiaan jika akhirnya akan berakhir seperti Ibuku. Hyung tahu Ibuku adalah orang yang pernah sangat bahagia dalam hidupnya. Lalu apa yang terjadi ? Aku tidak mau mengatakannya, tapi Ibuku sekarang malah jadi orang yang paling terpuruk dan menyedihkan'

Seokjin tidak berniat untuk berargumen pada apapun. Tapi entah mengapa perkataan Hyonsu seakan menjadi cambukan tajam yang memecut perasaannya. Jika saja orang lain tahu, Seokjin itu tetap manusia biasa yang juga butuh bahagia. Ia membutuhkannya tapi juga membencinya. Setelah semuanya Hyonsu hanya menatap dalam diam.

'Hyung tidak bisa memaksaku untuk bahagia. Bahagia yang dipaksakan bukanlah bahagia yang sesungguhnya. Itu mungkin hanya sebuah kebohongan'

Seokjin hanya tak tahan terus dipaksa bahagia. Sedangkan tak ada satupun alasan yang begitu baik untuk membuatnya berjuang agar merasa bahagia. Sebagai Hyung yang ia sayangi, Seokjin sangat paham jika Hyonsu hanya mencoba yang terbaik untuk dirinya. Mencoba membuat dirinya sedikit merasa dipahami. Seokjin akan mencoba tapi tidak dalam waktu yang dekat.

'Hyung tahu jika hyung terlihat begitu ikut campur dalam kehidupanmu. Bagaimana pun kau adalah adikku satu-satunya. Dan sebagai Hyung aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Aku tahu banyak hal yang terjadi telah melukai perasaanmu. Hyung hanya ingin kau tersenyum bahagia'

Setelah menyelesaikan perkataannya, Hyonsu meninggalkan Seokjin begitu saja. Bahkan tak mengucapkan satu patah kata pun hanya untuk sekedar berpamitan. Dan setelah hari itu, sampai dengan hari ini Seokjin tidak pernah bertemu dengan Hyonsu. Bertanya pada Bibi pun tak memberinya solusi. Bibi hanya berkata jika Hyonsu menginap ditempat Teman kuliahnya.

Seokjin dilingkupi perasaan bersalah. Hyonsu tak pernah menghindarinya. Seokjin rasa dirinya sudah sangat keterlaluan. Oleh sebab itulah Seokjin berinisiatif untuk mencari Hyonsu di kampusnya. Masih dengan pakaian seragam lengkap Seokjin berniat mencari Hyonsu untuk meluruskan semuanya. Hanya butuh beberapa menit untuk sampai ke kampus Hyonsu. Tapi karena tidak begitu memahami lingkungan, Seokjin hanya bisa memilih untuk bertahan di luar gerbang utama sembari menunggu Hyonsu yang mungkin saja akan pulang melalui jalan yang sama.

Sore hari menjelang begitu cepat. Warna langit bahkan berganti jingga pekat. Seokjin sudah berulang kali menoleh hanya untuk sekedar memastikan. Tapi tak pernah menanggkap satu presensi pun yang menunjukkan jika itu Hyonsu. Seokjin rasa sudah saatnya untuk mencukupkan semuanya dan segera pulang. Esok hari ia akan kembali kemari.

"Sejak kapan kau berada disini ?"

Sebuah suara yang tak asing menghentikan langkah Seokjin yang baru saja hendak meninggalkan tempatnya. Seokjin lantas menoleh dan mendapati Hyonsu berdiri dibelakangnya sambil mendukung tas di salah satu bahunya.

"Kenapa kau kemari Seokjin ? Kau ada janji dengan seseorang ?" Tanya Hyonsu.

Seokjin menggeleng pelan.

"Aku kemari ingin menemui Hyung"

"Aku ??? Kenapa ? Kau ada masalah ?" Hyonsu berucap khawatir.

Seokjin menatap Hyonsu dalam, bahkan setelah kejadian tempo hari Hyonsu tetap terlihat mengkhawatirkannya.

"Aku ingin minta maaf pada hyung karena kejadian waktu itu. Aku salah dan aku egois, maafkan aku"

Tak ada jawaban, Seokjin lantas melihat Hyonsu dan menangkap segaris senyum kecil dibibir Hyonsu. Setelah itu Seokjin berakhir dalam pelukan Hyonsu.

"Kau ini memang adik kecil hyung yang baik. Kenapa kau yang meminta maaf, Hyung lah yang salah karena meminta sesuatu yang sulit. Hyung sudah terlalu mencampuri masalahmu hanya karena hyung ingin melihatmu bahagia. Maafkan Hyung hmmm ?"

"Aku akan memaafkan Hyung asalkan Hyung berjanji tidak akan menghilang seperti kemarin. Aku sungguh merasa bersalah karena Hyung pergi setelah kita bertengkar"

Suasana yang sebelumnya penuh haru seketika penuh dengan suara gelak tawa dari Hyonsu.

"Apa aku salah bicara hyung ?"

Masih dengan senyum yang tersemat manis, Hyonsu menggeleng. Lantas menarik tinggi tangannya dan meletakkan diatas kepala Seokjin sembari mengusap lembut.

"Apa kau sekarang sedang mengkhawatirkan hyung karena menghilang. Hyung sudah tahu semuanya, Ibu sudah bilang semuanya, jika kau sering menanyakan kabarku atau keberadaanku belakangan ini"

"Bukan begitu" sangkal Seokjin sambil melepaskan dirinya dari pelukan Hyonsu.

"Eeey jangan bohong, kau khawatir kan pada hyung. Buktinya kau sampai datang kemari" ucap Hyonsu menggoda.

"Aku akan pulang, ini sudah sore. Ibu mungkin sudah menungguku, sudah waktunya ibu memakan obat. Hyung akan pulang atau tidak"

Seokjin berbalik pergi begitu saja, mengambil langkah yang cepat guna memberi jarak dan menutupi perasaannya yang sebenarnya salah tingkah.

"Ya Seokjin kau sedang malu ya pada hyung... Tunggu !! hyung akan ikut pulang bersamamu" Hyonsu berlari dan merangkulkan lengannya pada pundak Seokjin sambil tertawa.

"Bagaimana kalau kita makan tteok sebelum pulang ? Hyung yang traktir"

"Tidak, aku harus segera pulang. Lagi pula Hyung harus pulang dan makan apa yang Bibi masakan jangan membuang-buang uang"

"Masakan ibu membosankan, ayolah sesekali kita beli makanan diluar"

"Tidak, jika hyung membeli makanan diluar akan aku adukan pada Bibi"

Hyonsu menatap Seokjin sinis.

"Ya sejak kapan kau menjadi tukang mengadu. Seokjin....."

Seokjin tak menghiraukan dan terus berjalan mendahului Hyonsu yang masih berteriak kesal memanggil namanya. Seokjin cukup lega sampai tidak sadar tersenyum samar. Senyum yang bahkan sangat jarang terlihat dari dirinya. Tapi kali ini senyum itu muncul untuk sejenak. Hati Seokjin lega karena Hyonsu tetap berada disisinya. Rasanya Seokjin ingin tetap selamanya seperti ini. Menghabiskan waktu bersama orang sebaik Hyonsu. Satu-satunya hyung yang ia miliki.














Hai,
Update cepat nih seperti kejar setoran 😹. Selamat membaca ya, maaf kalo banyak typo.

Salam,
Mikrokosmos0412

A Thousand PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang