"The deepest pain is unseen by eyes. The deepest sadness is unsaid by words"
-Unknown-
🎐🎐🎐
Malam adalah hal terbaik yang pernah ada dalam hidup Seokjin. Baginya hanya malam yang bisa merangkul dirinya. Membukakan tempatnya untuk berkeluh kesah. Menangis dengan bebas meski tak bisa membiarkan suaranya terdengar.Belakangan ini hari-hari yang dijalani Seokjin terasa begitu melelahkan. Semuanya menjadi sangat sulit. Melalui banyak hal dengan tumpukan rasa kesepian. Seokjin menderita lantas tidak ada satupun orang yang bisa ia harapkan untuk setidaknya hanya bertanya apakah ia baik-baik saja ?
Terkadang, seokjin ingin dapat menangis dengan keras. Ingin memiliki seseorang yang bisa mendengarkannya saat menangis. Seokjin ingin ada yang bisa memberitahunya jika semua akan baik-baik saja. Lalu menepuk pelan punggungnya sambil mengatakan ini bukan salahmu. Seokjin ingin memiliki tempatnya untuk pulang. Tempat di mana dirinya tak perlu berpura-pura untuk selalu kuat.
Munafik jika halnya Seokjin tak menganggap kehadiran Bibi Jung di kehidupannya merupakan sebuah keberuntungan. Atau bahkan tak menganggap kehadiran Hyonsu sebagai hadiah dari Tuhan karena ada untuknya seperti seorang hyung yang selalu ada di sisinya. Tapi Seokjin tidak bisa benar-benar terbuka pada mereka.
Setiap kali menerima kebaikan mereka, Seokjin hanya terus merasa semakin terbebani. Mereka adalah keluarga yang baik dan Seokjin merasa tidak akan pernah bisa membalas kebaikan mereka. Seokjin merasa terlalu buruk untuk mendapatkan kebahagiaan karena ia memang tak pernah pantas merasa seperti itu.
Seokjin hanya sedang merasa lelah. Menyelaraskan semua dalam satu irama tarikan napasnya terasa begitu menyesakkan. Sungguh Seokjin hanya berupaya untuk kuat demi Ibu. Tapi ibu tak pernah berusaha kuat atau bangkit dari masa lalu. Ibu tak pernah berusaha melihat dirinya sebagai orang yang terus berada disisinya. Ibu terus melihatnya sebagai luka. Sebagai sosok yang sama dengan sosok pria yang telah meninggalkannya.
Seokjin cukup iri pada Yoongi karena memiliki Ibu yang begitu menyayanginya. Jika kembali mengingat jejak pertemuan mereka seminggu yang lalu. Seokjin melihat banyak hal yang tak pernah ia lihat selama ini. Terus bertanya apakah suatu hari keberuntungan seperti itu akan datang dalam hidupnya. Apakah dirinya akan bisa merasakan itu dari Ibu yang selalu ia sayangi.
"Ibu...aku takut" lirih Seokjin bersama tangis yang pecah.
"Aku kesepian... Aku ingin dihibur, tapi tak ada seorang pun disisiku"
Isakan pelan perlahan lolos dari bibir Seokjin. Tapi tak ada satupun orang yang bisa menenangkannya. Dirinya hanya bisa berharap semoga Ibu tak dapat mendengar tangisnya.
"Aku takut Ibu, kapan kau akan kembali. Aku merindukanmu"
Hancur sudah pertahanan Seokjin. Entah sudah berapa lama ia berupaya untuk tegar. Seokjin tak peduli, ia hanya ingin untuk malam ini saja bisa menangis. Lantas memilih menenggelamkan kepalanya pada bantal dan berteriak sepuasnya tanpa perlu cemas akan didengar.
Sayangnya di balik ruangannya yang tertutup rapat pada sisi yang berlawanan, ternyata ada sosok Hana yang berdiri mematung. Menatap pasti pintu kamar Seokjin yang tertutup dengan mata yang basah.
Dia sudah mendengar semuanya, meski pelan tapi dia tetap bisa mendengar semuanya. Bagaimana rumahnya yang begitu sunyi seakan memberikannya kesempatan untuk medengar isi hati anaknya.
Hana tak berhenti memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Hendak menghilangkan sesuatu yang terasa mengganjal tapi tak kunjung bisa. Hana sudah terlalu lama sakit. Membenci Seokjin bukanlah pilihannya. Tapi setiap kali mencoba menerima Seokjin hal pertama yang singgah dibenaknya adalah wajah pria yang telah mengkhianati kepercayaannya.
'Tak bisakah kau sedikit lebih peduli padanya ? Jika tidak bisa langsung membuka hatimu, lakukanlah dengan perlahan. Seokjin pasti sudah sangat senang jika kau mau membuka diri'
Ditengah perasaan yang membaur meninggalkan sesak. Hana teringat kembali perkataan Bibi Jung beberapa hari lalu. Percakapan itu dipenuhi dengan banyak harapan dari Bibi Jung agar dirinya lebih memperhatikan Seokjin. Agar setidaknya dirinya kembali mengambil peranan yang sudah lama ia tinggalkan.
'Kau tidak tahu bagaimana anakmu tumbuh. Seokjin hidup bersamamu dan hanya memilikimu. Tapi dia besar seakan tak ada satupun orang tua yang mendampinginya. Apa kau tidak aneh melihat anakmu sudah sedewasa itu disaat anak-anak lain bahkan bisa bermanja pada orang tuanya'
'Jangan berpikir jika hanya kau yang tersakiti. Jika kau saja sakit karena pengkhianatan. Seokjin jauh lebih sakit karena sebuah pengkhianatan dan perasaan diabaikan'
Hana sadar dirinya terlalu egois. Menempatkan dirinya sebagai orang yang seakan paling tersakiti. Lalu mengabaikan Seokjin yang jelas-jelas masih sangat kecil untuk menanggung rasa kebencian yang mati-matian ia tujukan untuknya. Hana hanya berpikir jika dia belum siap.
Kisah mereka kini tak ubahnya seperti gambaran abstrak mengenai kehidupan dan konflik yang menyertainya. Dimana mereka telah mengambil peran dengan warna yang berbeda. Tapi terlibat dalam satu cerita yang sama. Cerita yang melibatkan mereka dalam satu campuran warna kelam penuh kesedihan.
Seperti Seokjin yang hanyalah seorang manusia biasa. Ia tak pernah bisa bertindak seolah ia benar-benar kuat. Meski lisan bersikeras berkata baik, tapi ia tak pernah benar-benar baik. Ataupun meski dalam hatinya terus mendikte diri agar tidak pantas bahagia. Tapi justru sebenarnya hal itulah yang selalu ia harapkan hadir dalam kehidupannya. Karena pada dasarnya bagaimanapun manusia hidup, kebahagiaan adalah hal yang paling ingin dirasakan. Sama halnya dengan Seokjin.
Sementara Hana, dia tidak pernah memilih takdir untuk berkahir di posisinya sekarang. Ia tak pernah benar-benar ingin membenci Seokjin. Bagaimana pun Seokjin adalah putranya. Anak laki-laki pertama dan satu-satunya harta yang ia miliki. Tapi kenyataan jika ia juga tidak dalam posisi yang baik dan memiliki luka masa lalu, membuatnya dengan amat terpaksa membenci Seokjin. Lebih tepatnya membenci sosok Seokjin yang mirip sekali dengan pria kejam yang telah mengkhianati kepercayaannya.
Hai,
Selamat membaca dan maaf jika tidak terlalu bagus dan typo bertebaran. Akibat dari lama menghilang dan lupa alur.Salam
Mikrokosmos0412 😿
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Pieces
Fiksi PenggemarSeokjin bukannya tidak ingin merasakan yang namanya bahagia. Tapi jujur saja ia tidak bisa. Bukan karena tidak mampu meraih, melainkan karena ia merasa jika dirinya tak pernah pantas bahagia. Ribuan potong kenangan menyakitkan membawanya pada kenya...