"Setiap orang memiliki batasan mengenai sejauh mana kita menempatkan diri untuk bisa ikut campur dalam urusan orang lain. Apa yang kita sangka terbaik belum tentu terbaik untuk orang itu. Ikut campur akan memperumit dan bukannya mempermudah."
-Unknown-🎐🎐🎐
Sepekan berlalu setelah keluar dari rumah sakit, Seokjin kembali menjalani aktivitas seperti biasanya. Dirinya sudah jauh lebih baik dan karena itu pula ia bisa sudah kembali sekolah dan juga tentu saja kembali bekerja. Hal-hal yang sebelumnya sempat ia tinggalkan kini kembali berjalan seperti biasa. Semuanya kembali termasuk kehidupannya yang monoton.
Seperti sore ini, selepas pergantian sip kerja. Seokjin menyempatkan untuk mendudukan diri berniat mengistirahatkan tubuhnya sembari memandang jauh kesebuah taman yang tak jauh dari tempatnya bekerja. Matanya menelisik setiap sudut. Menikmati setiap keramaian yang terlihat sangat hangat karena beberapa keluarga kecil bahagia tengah menghabiskan waktunya bersama. Waktu-waktu yang indah dan sepertinya sangat menyenangkan. Sayangnya Seokjin tidak pernah bisa merasakan kesempatan itu.
Satu yang seokjin ingat adalah ia selalu sendirian. Ketika kecil, saat anak-anak lain seusianya bisa tertawa ataupun menangis bersama kedua orang tuanya, ia hanya bisa menahannya. Seokjin tidak punya siapa pun untuk ditangisi atau pun diajak berbahagia. Bahkan jika terpuruk sekalipun hingga rasanya sesak seakan tak lagi bisa bernapas karena beban, ia tidak pernah berpikir untuk sekedar membaginya kepada siapapun. Semua itu hanya terasa wajar baginya karena dari dulu Seokjin memang sendirian.
Tapi jauh dilubuk hatinya, Seokjin juga ingin bebas. Entah dimana terperangkapnya, tapi ia merasa seperti terkurung. Tak sekalipun dapat merasakan lega. Rasanya benar-benar sesak. Ia hanya ingin keluar dari rasa itu. Sulit mengungkapkan bahwa dirinya sendiri bahkan kesulitan dan tak jarang juga menginginkan bantuan. Masa kecil yang ia lalui cukup berat untuknya.
Terkadang melihat betapa indahnya kehidupan orang lain hanya membuat Seokjin merasa hampa. Mendorong hati agar tak menjadi iri, tidak terlalu membantunya untuk merasa lebih lega. Ada kalanya Seokjin juga memimpikan kehidupan yang indah seperti milik orang lain. Memiliki keluarga yang harmonis, Ayah dan Ibu yang selalu mencintainya dan tentu saja rumah yang terasa hangat setiap kali menerimanya pulang.
"Kau terlihat sangat serius. Apakah orang-orang itu sangat menarik perhatianmu ?" Tegur Namjoon sembari mengambil posisi duduk disebelahnya. Entah darimana datangnya dan apa tujuannya Seokjin seakan tak tertarik dan hanya membiarkan Namjoon begitu saja.
Seokjin hanya diam tanpa melepaskan pandangannya dari satu keluarga yang tengah menghabiskan waktu bersama di taman. Tak terlalu terkejut juga melihat Namjoon yang tiba-tiba menyapanya tanpa rasa canggung seakan mereka memang sudah saling mengenal baik.
"Ini ambilah" ucap Namjoon sambil menyodorkan sekaleng minuman.
"Tidak perlu" tolak Seokjin singkat.
"Hei... Kau ini jahat sekali. Aku memberimu gratis bukan menyuruhmu untuk membayarnya" seru Namjoon kesal.
Seokjin tak lagi peduli dan kembali melihat pemandangan di depannya. Pemandangan yang sama dengan sebelumnya. Namjoon yang duduk disebelahnya jelas sadar jika Seokjin sedang memandangi potrait keluarga bahagia di depan sana, lantas ikut melihatnya dengan tenang. Keheningan singkat mampir diantara keduanya. Sampai beberapa waktu selanjutnya Namjoon lah yang kembali membuka pembicaraan.
"Kau ingin bermain seperti itu. Akan aku temani bagaimana ?" Ucap Namjoon dengan nada bercanda.
Seokjin tak berniat merespon dan hanya memberi Namjoon sebuah tatapan datar. Sadar candaannya tak direspon dengan baik, Namjoon lekas membenarkan tempat duduknya. Terlampau kikuk menghadapi Seokjin yang sedingin batu es.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Pieces
FanfictionSeokjin bukannya tidak ingin merasakan yang namanya bahagia. Tapi jujur saja ia tidak bisa. Bukan karena tidak mampu meraih, melainkan karena ia merasa jika dirinya tak pernah pantas bahagia. Ribuan potong kenangan menyakitkan membawanya pada kenya...