PART ONE: Seeing Stars

947 76 39
                                    

(Kamis, 31 Januari 2019)

"... gave me your number but I, I never called, yeah..."

"Keith!"

"... I just had to let the beat ride, living my life. One day at a time, and I got to aim high..."

"KEITH!"

Aku menghentikan permainanku.

Kutolehkan kepalaku dengan malas ke arah tangga.

Kakakku, Dean, berdiri memegangi susuran dengan mata merah dan rambut acak-acakan. Dia nyaris saja menjatuhkan Macbook-nya kalau saja ujung kakinya tidak dengan cekatan menarik kusen berlapis kulit dari ujung ruang teve yang lebih mirip kapal pecah. "Apa?" tanyaku. Aku meletakkan bass-ku dan mengintip melalui tirai beledu.

Sudah malam.

Tapi aku tahu sekarang sudah malam, jadi tidak ada masalah.

"Siapa yang makan kornetku?"

"Kornet expired itu?" tanyaku, setengah memastikan. Dean menepuk dahinya. Aku tercengir dan kembali melanjutkan permainanku yang sempat tertunda. Permainan seorang maestro bass. "Kornetnya sudah hampir expired. Kemarin lusa kumasak dan kumakan sendiri. Expired-nya besok." Aku mengangkat-angkat kedua alisku dan mengerling padanya.

"Baru aja mau kumakan malam ini!"

"TUNGGU—bukannya ini malam Jumat?" Kulirik kalender gantung di dinding. "Sejak kapan kamu BISA pulang di malam Jumat?" Aku menyandarkan bass-ku pada tanaman pakis imitasi di belakang sofa dan mengernyit. "Memang kamu nggak nemuin teman-temanmu di Mirror? Atau—apa, tuh, yang baru buka di Legian? LXXY?"

"Bosen," semburnya.

Aku terhenyak.

Dean?

Bosan clubbing?

Kerasukan malaikat macam apa dia?

Sambil menjengit, aku mencopot steker dan menonaktifkan setiap peralatan elektronik di lantai dua, kecuali penerangan. Aku mengemas bass-ku dan bersiap-siap mengungsi ke kamar untuk menonton YouTube dan tidur. Besok sekolah, dan jam telah menunjukkan pukul sepuluh. Kalau Mama di rumah, dia pasti sudah menyeretku ke kamar dan menutupi tubuhku dengan selimut tebal. Aku bukan anak nakal seperti Dean, jadi aku tidak akan melanggar perintah Mama, meski kami terpisah bermil-mil jauhnya oleh lautan dan samudera.

Setelah mencuci kaki dan menggosok gigi, aku menyusup dan bergelung di balik selimut untuk memulai ritual malam yang telah kupatenkan: nonton YouTube. Jempolku bergerak dengan lincah, memilah video yang akan dan belum kutonton dan memasukkannya ke daftar tunggu. Sebagai seorang nolep garis keras, tidak bisa kupungkiri YouTube telah menjadi bagian yang cukup esensial dari hidupku. Tanpa YouTube, aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan setibanya aku di kelas yang sepi dan mencekam. Tanpa YouTube, aku tidak bisa menyelami musik-musik terbaru untuk kudengarkan dan kupelajari.

Dan, tanpa YouTube, aku tidak bisa mencapai kesimpulan bahwa aku adalah bassist wanita terbaik di seluruh dunia.

Baiklah, mungkin ada BANYAK bassist wanita lain yang lebih baik dariku, tetapi percayalah aku tidak menemukan satu pun yang berkeliaran di YouTube. Ada probabilitas mereka memilih jalan yang sama sepertiku: cengar-cengir sambil menonton permainan rookie lain, lalu menggulirkan layar untuk membaca komentar-komentar jahat yang kadang-kadang ada benarnya.

Sangat kejam, aku tahu. Namun, jika aku tidak mempertahankan pemikiran semacam itu, kepercayaan diriku terancam layu. Aku perlu sesuatu untuk membengkakkan egoku. Bukan keputusan bijaksana, tetapi hanya itu yang bisa kulakukan untuk bertahan di era yang penuh intrik dan tipu daya ini—

lupakan.

Aku memang agak dramatis. Aku terlalu sering turun tangan mengerjakan tugas-tugas kuliah kakakku, si Kampret Dean. Dia baru saja lulus setelah lima tahun mendekam di universitas. Sel-sel otaknya telah dihanguskan secara tidak manusiawi oleh dosen dan teman-temannya yang sok rajin. Kupikir itulah sebabnya dia memutuskan untuk menjerumuskan diri dalam kehidupan malam yang penuh asap dan keringat.

Dean melepas penat dengan mengisap rokok, bergonta-ganti pasangan, dan bolak-balik menabrakkan Jeep-nya.

Aku melepas penat dengan memetik senar bass dan memesan makanan cepat saji.

Favoritku bruschetta, omong-omong.

Ponselku berdenting.

Aku menekan bar notifikasi yang menampilkan pratinjau pesan LINE yang memanjang ke bawah seperti kerai bambu.

Bahuku memerosot.

Cuma Kevin.

Aku ngantuk.

Tidur dulu ya.

Selamat malam.

"Malam juga, Kev," aku bergumam seraya mengetikkan balasanku dengan satu tangan. Sadar ini sudah malam dan aku tidak semestinya begadang karena itu hanya membuatku menjadi penyakitan (aku tidak boleh penyakitan karena orangtuaku jauh dan aku terlalu lemah untuk mengurus diriku sendiri), aku pun mematikan ponsel dan menekan sakelar di kepala tempat tidur.

Aku merebah.

Mataku terarah pada kandelir kaca yang bergantung di langit-langit kamar yang tinggi. Dua ekor cecak berkejaran di sekitarnya: mendecak, meliukkan ekor, dan melejit.

Aku mengembuskan napas, kemudian memejam dan mulai berdoa, dengan suara cecak melatarbelakangi kalimat-kalimat yang kuucapkan dalam hati, hingga suaraku berupa gemaan semata yang kudengar dalam tidur.

***

Posted on: July 20, 2021.

Selamat datang, dudes and dudettes.

Ini lebih mirip prolog, sih.

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang