Dirty Little Secret

293 49 51
                                    

(Rabu, 6 Februari 2019)

Menyebalkan sekali.

Libur sehari?

Mereka kira kami ini apa? Pegawai negeri? Aku menghela napas dengan gusar. Sudahlah. LET IT GO. Lagi pula, aku juga tidak ngapa-ngapain di rumah. Aku hanya kesal karena mesti masuk setelah Harpitnas alias Hari Kejepit Nasional yang entah kenapa menambah parah sindrom bokong malasku. Maksudku, ayolah. Selasa Imlek, masa Senin-nya tetap masuk?

Lupakan.

Aku memang suka mengeluh. Aku dilahirkan untuk itu.

Aku menyetop langkahku di tengah-tengah lobi. Papan pengumuman kelihatan mencolok di pagi hari. Kacanya sedikit terbuka, pertanda habis digeser oleh seseorang yang memegang kuncinya. Hanya saja, bukan itu yang menarik perhatianku. Mataku menatap poster raksasa dengan potongan gambar Lancelot, salah satu hero yang sering kupakai, ditempel menutupi pengumuman-pengumuman lain yang sudah kadaluwarsa.

Aku memicingkan mataku dan menarik langkah mendekat.

Aku memicingkan mataku dan menarik langkah mendekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rahangku anjlok.

LIMA JUTA RUPIAH?!?!?!

Baiklah.

Aku mesti menenangkan diri.

Itu hanya prize pool. Probabilitas hadiah terbesar yang bisa kuterima adalah dua juta lima ratus ribu rupiah, dan aku mesti membaginya secara merata kepada rekan-rekan setimku. Aku tidak boleh senang dulu. Aku mulai kedengaran seperti penyamun yang tidak pernah melihat uang dalam jumlah besar. Kuakui poster ini memang menginjeksi semangatku habis-habisan—semangat untuk menyombong, terutama—tetapi aku mesti mencari seseorang yang bisa main dan tentunya bisa direkrut secara sukarela. Dengan prize pool seperti itu, aku yakin membentuk tim bukan masalah besar.

Lagi pula, aku lumayan mengenal Irvan, alias si pemilik id LINE naminamikaze_. Aku bisa memesan satu slot untuk diriku sendiri, jadi jika seseorang di kelas menyerahkan formulir tanpa menyertakan namaku, Irvan akan memverifikasinya dengan pertanyaan, "Sudah bilang Keith? Dia daftar duluan. Mau gabung di timnya nggak? Biar aku saja yang catat."

Brilian.

Baru saja aku mengubah haluan untuk bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke lantai empat, hidungku membentur sesuatu yang katos dan bertulang—dan wangi, jangan lupakan itu, itu bagian paling esensialnya. Aku menggosok-gosok hidungku, lantas mendongak untuk mencari tahu siapa pemilik dada bidang itu. "Lumayan juga, ya, hadiahnya," Raynhart bersiul. "Lima juta untuk satu kelas. Lumayan untuk makan-makan atau nonton premiere bioskop." Dia lalu menunduk dan tercengir padaku. "Pagi, Keith. Sudah lama, ya, kita nggak ngobrol pagi-pagi begini?"

"Maksudmu, sudah lama, ya, kamu nggak datang pagi-pagi begini?" aku mengoreksi.

Raynhart terbahak.

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang