Jejeran lampu di langit-langit memburam dan berpusar, membuat rongga mataku terasa seperti dicongkel dan ditusuk-tusuk dari dalam.
Aku memegangi susuran ranjang, menyerap temperatur dan menyalurkannya pada kelopak mataku. Aku ingat tadi aku ada di pit, melamunkan Raynhart dan masa laluku di lighting sebelum dipindahkan ke sound. Aku juga ingat menyelamatkannya dari terjangan lampu sorot dan justru menjadikan diriku korban. Aku hanya tidak ingat siapa yang membawaku kemari. Sederhananya, kurasa aku sempat pingsan.
"HAH!" Aku terlonjak.
Tirai-tirai putih tipis yang mengelilingiku samar-samar menguarkan bau medis. Aku mengeratkan jemari kaki, merasakannya telanjang di balik sehelai selimut butut yang bau balsam. Tanganku menggerapai di sepanjang dipan; menyibak selimut, menyingkirkan bantal, mencari keberadaan ikat rambut dan kaus kakiku yang lenyap entah ke mana.
Kemudian, aku melihatnya.
Raynhart, duduk di kaki ranjang. Ujung-ujung kemejanya dikeluarkan dari celana. Kakinya bergetar ketika dia mendorong tubuhnya bangkit. Aku mengucek-ucek mataku yang terasa berat dan panas, seperti baru saja terbangun setelah terjaga semalam suntuk. "Raynhart?" Pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan di kepalaku. Bagaimana aku bisa berakhir di klinik? Apa Raynhart yang membawaku kemari? Ke mana perginya sepatu dan smartwatch-ku? "Kamu ngapain di sini?"
Aku terkesiap ketika merasakan tangannya mengarahkan kepalaku agar menghadap padanya.
"Harusnya aku yang tanya kamu," dia bernapas, "kenapa kamu dorong aku?"
Aku tergagap, "Ma-maksudmu—"
"Aku nggak tahu tadi kamu mikir apa." Raynhart memejam. Hidung dan bibirnya terbenam di balik tangannya yang dikatupkan. "Tapi, apa pun itu, itu sangat tidak pada tempatnya."
"Raynhart—"
"Berat lampunya lebih dari sepuluh kilo, Keith. Lampunya jatuh di kepalamu." Dia melipat kakinya ke atas dan meringkuk di tepian ranjang. Matanya yang senantiasa berkilat kini meredup. Bulu matanya seolah layu begitu saja. "Aku nggak tahu apa aku bisa tidur nyenyak kalau kamu kenapa-kenapa. Aku mungkin nggak akan bisa tidur selamanya."
"Rayn... Raynhart..." Aku menyentuh punggungnya yang melengkung. "Aku nggak apa-apa. Aku baik-baik saja. Lihat?" Aku berguling dari ranjang, berputar, melompat, dan berjinjit di depannya. Raynhart hanya mengamatiku dengan kedua alis dikeraskan. "Rayn..." panggilku. "Aku sudah sadar. Nggak ada yang perlu ditakutkan. Nggak ada yang menyalahkanmu—"
"Aku yang menyalahkan diriku sendiri," dia mendesis.
Aku terdiam.
Raynhart berdiri. Bayangan tubuhnya menaungiku. Sebelum aku sempat menjaga jarak dan meminta maaf, dia sudah membalikkan tubuhku dan membaringkanku di ranjang. Satu tangannya mengunci lenganku, sementara satunya lagi menahan bagian belakang leherku. Aku terengah-engah, meringis ketika gelang-gelang karet dan gesper arlojinya menggesek rahangku.
"Cokelatku," dia berbisik, "kamu apakan cokelatku?"
"Co-cokelat?" cicitku.
Aku.
Tidak.
Bisa.
Bernapas.
"Cokelat yang—"
Ibu jarinya menekan bagian bawah bibirku, membuat napas yang sedari tadi kutahan lepas begitu saja.
"Aku tahu kamu tahu."
Aku menggeleng-geleng.
Tidak.
Aku tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Suck At Love
Teen FictionKeith, si bassist nolep, akhirnya menerima tawaran untuk melengkapi band yang akan tampil di pesta raya St. Patrick yang keenam puluh lima. Semuanya terasa seperti mimpi indah, sampai akhirnya Keith tahu dia akan dijadikan satu band dengan Rani, san...