Game On

270 52 56
                                    

Setelah menandatangani cek dispensasi dan membiarkan operator lobi menyalurkannya kepada pengurus kelas, aku dan Raynhart bergegas menuju pintu belakang auditorium yang terasing di sudut terpencil sekolah.

"Tumben aku lihat kamu bareng-bareng Agatha," kata Raynhart.

"Aku juga tumben lihat dia di balkon," aku membeo.

"Dia nggak ngomong yang aneh-aneh, kan?"

Aku mengernyit. "Aneh-aneh gimana?"

Kami tiba di bagian belakang auditorium. Anggota klub teater berlalu lalang menyortir properti lama ke gudang dan mengangkut kaleng-kaleng cat keluar. Sejauh mata memandang, tidak ada wajah familier yang kulihat. Hanya sekumpulan orang asing yang kelihatan seperti karakter di lobi game battle royale. "Ramai sekali," aku berkomentar. Raynhart membukakan pintu baja antikarat untukku, kemudian menutupnya lagi dengan punggungnya. "Aku nggak yakin Pak Hendrik ingat dia memanggilku."

"Dia pasti ingat," katanya, meyakinkan.

Aku menepi ke salah satu kursi logam yang menyatu dengan loker penyimpanan. Raynhart yang kelihatannya tidak begitu familier dengan suasana panggung hanya bisa mengikutiku seperti anak kucing yang kehilangan induknya. "Jadi," kataku. Aku menyandarkan punggungku pada pintu loker. "Siapa vokalisnya?"

"Belum tahu." Raynhart tersenyum tanpa melihat ke arahku. "Mungkin kamu?"

Seringai jahilnya muncul.

Aku mengerang. Yang benar saja. Yang ada penontonnya malah kabur semua. Aku tidak bilang suaraku jelek. Suaraku bagus. Si Kampret Dean saja bilang begitu. Aku hanya tidak bisa membayangkan menjadi pentolan yang memiliki kharisma tinggi. Posisi itu lebih cocok diisi oleh Agatha atau Brooklyn. Atau Brendan, teman Raynhart yang katanya juga dipanggil kemari oleh Pak Hendrik. "Kenapa bukan Brooklyn saja yang jadi gitaris?" tanyaku lagi. "Bukannya dia bisa main gitar?"

"Kenapa harus Posei?" Raynhart balik bertanya. Posei adalah nama kecil Brooklyn. Hanya Raynhart yang masih memanggilnya begitu. "Kan, ada Brendan."

"Brendan, kan, biasanya jadi bassist." Aku berpura-pura tidak tertarik, padahal diam-diam aku mengincar posisi itu. "Dia sering tampil di even-even sekolah, kan? Permainannya juga nggak jelek-jelek amat." Meski tidak sebagus permainanku, itu maksudku yang sesungguhnya.

"Penampilanmu di perpisahan tahun lalu lebih menarik," katanya.

Aku mencebik—hanya pura-pura. "Baru saja aku mau mendaftar ke turnamen MOBA delapan bit. Aku sudah membayangkan menggilas anak-anak kelas sebelah. Mereka pasti kalah." Terutama yayang-ku Marvel yang sempat menantangku by one, mentang-mentang dia main Dota—dia yang kalah, tentu saja.

"Anak-anak Santo Patrick noob semua—percaya padaku. Aku sudah pernah main sama mereka satu-satu. Kelihatannya saja suka nonton anime dan bolak-balik top up Steam. Begitu masuk in-game langsung ampas."

"Kamu bilang begitu karena kamu sudah pernah masuk leaderboard global, kan? Kamu juga sudah pensiun. Pasti rasanya hambar menamatkan game-game yang kamu mainkan."

"Mungkin," katanya. "Tapi siapa, sih, yang bisa membohongi tangan pemain bass sepertimu?"

Mataku membesar. "Tangan pemain bass—?"

"Kemarikan tanganmu." Aku menurut. Raynhart menyusurkan telunjuknya di sepanjang garis tanganku. "Hm," dia bergumam. "Kalau garis tangannya seperti ini, orangnya pasti suka mengoleksi sneakers—"

"RAYN," erangku.

Raynhart terkikik. "Bercanda." Dia meluruskan telunjukku, kemudian mengetukkan ujung telunjuknya di sana. Diam-diam aku memerhatikannya. Dia memiliki jemari yang bersih. Tanpa upil atau pasir yang menyelip. Sangat terawat. "Maksudku, dengan jari sepanjang dan selentik ini, seharusnya kamu bisa mengalahkan siapapun di tourney—apalagi sehari-hari kamu terbiasa main bass, itu sudah menjadi semacam nilai plus."

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang