(Selasa, 5 Maret 2019)
Besok Rabu Abu. Berbarengan dengan Pengerupukan. Ini hari terakhirku di sekolah sebelum kembali masuk minggu depan dan menghitung hari menuju pesta raya.
"Kayaknya hari ini aku nggak bisa latihan, deh." Brendan berlenggak-lenggok canggung di depan pintu kelasku. "Aku sudah packing barang. Aku sekeluarga mau, er, nginep, di hotel. Memang begitu biasanya setiap Nyepi."
Ya, sudah. Satu orang pergi, kan, masih ada orang satunya. Sayang beribu sayang, hal yang sama terulang pada Brooklyn. Dia menyengir padaku dari ujung kafetaria. Kakinya bolak-balik menjejak ubin secara bergantian. Dari gelagatnya yang gelisah macam cacing kepanasan, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres yang akan dibicarakannya.
"Keith, maaf sekali, sepertinya nanti aku nggak bisa latihan," katanya. "Aku dan Agatha harus misa Rabu Abu di Katedral sore ini. Aku takut besok kami nggak sempat. Lusa aku sudah harus menemani Agatha di rumahnya sampai Jumat."
Alamat hari ini jadwalku terpaksa dikosongkan. "Aku sudah tanya tentang orang yang bisa back-up chat LINE ke Posei," Raynhart berbisik ketika kelas bahasa Indonesia dimulai. Aku yang sedang pusing memikirkan nasib band-ku pun mendadak berpijar-pijar. "Dia belum tahu, sih. Tapi mau bantu cari tahu. Katanya, kita harus balikan. Berapa pun harga yang harus kubayar."
Rambutku jering-jering.
Belum ditemukan, rupanya.
"Baguslah kalau begitu," kataku. "Semoga kamu nggak omdo." Meski nadaku kedengaran tidak acuh, aku diam-diam berharap Raynhart serius mencari ahli yang sungguh-sungguh mampu memgembalikan chat LINE yang dihapusnya.
Luntang-lantung seharian seperti pengangguran (memang), undangan pun datang dari Giselle, kali ini untuk makan siang dan main-main ke ruko-nya di Genteng Biru. Aku mengiakan tanpa berpikir panjang, sebab ajakan itu datang ketika aku sedang lapar-laparnya, dan otakku praktis mengasosiasikannya dengan sepiring ayam goreng mentega yang gurih dan renyah, lengkap dengan buncis goreng telur asin dan segelas es teh jumbo.
Kelihatan banget rakusnya.
Kebetulan hari ini Giselle berjalan kaki ke sekolah, alhasil dia pun menumpang di mobilku, berteriak-teriak kesenangan sambil mengeraskan audio. "Putar yang jauh, dong!" dia meminta, dan aku terpaksa menurut, sebab aku akan bertamu ke rumahnya, yang berarti cheat day, yang berarti aku berpotensi menghabiskan setengah isi kulkasnya dan melenyapkannya ke dalam perut besarku. "Yippie! Sampai!"
Aku memarkirkan mobilku paralel di kompleks Genteng Biru yang dipadati kendaraan roda dua dan kedai jajanan kaki lima. Bau masakan dan asap dari bakaran menyambutku begitu aku membuka pintu, membuat perutku semakin keroncongan dan mulutku semakin berair. Aku menekan remote, lalu cepat-cepat menyusul Giselle yang sudah masuk duluan ke depot milik orangtuanya. "Welcome back, warrior," dia bernyanyi.
"Permisi." Aku melongok, memastikan Papa Giselle yang terkantuk-kantuk di belakang mesin kasir mendengar salamku. Namun, dia tetap statis dalam posisinya. Hanya matanya yang terlihat berkedip-kedip lemah. "Anu, per—"
"Ssh!" Giselle menjepit bibirku dengan ibu jari dan telunjuknya. "Don't. Dia nggak dengar apa-apa. Gerak juga nggak. Dia cuma gerak kalau sudah disuruh masak." Bukan informasi baru bagiku. Papa Giselle memang seperti itu, sejak hari pertama aku melancong ke depot ini. Dia seperti robot yang sengaja dirancang hanya untuk memasak dan mengoperasikan mesin kasir. Selain itu, dia nonaktif. "So, karena kamu sudah di sini, dan rambutmu sudah bau minyak wijen, what do you want to eat, girlie?"
Aku meringis. Peka banget, deh.
"Apa saja boleh," kataku. "Masakan di sini enak-enak semua." Lebih-lebih bagi anak terlantar sepertiku yang sehari-hari terbiasa makan makanan cepat saji. Mencicipi sapo tahu dan cap cay saja sudah sangat luar biasa bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Suck At Love
Teen FictionKeith, si bassist nolep, akhirnya menerima tawaran untuk melengkapi band yang akan tampil di pesta raya St. Patrick yang keenam puluh lima. Semuanya terasa seperti mimpi indah, sampai akhirnya Keith tahu dia akan dijadikan satu band dengan Rani, san...