Stick Together

184 32 39
                                    

Kebetulan sekali aku bertemu dengan Raynhart, Kevin, dan Rani di kafetaria siang itu. Kevin sedang mengantre di konter ayam geprek kesayangannya, sementara aku baru saja terbebas dari antrean kebab yang kubeli karena tidak memiliki pilihan lain. Satu-satunya hal yang kusayangkan dari sekolah sebesar dan semahal ini adalah makanan-makanannya. Hanya kebab ini yang kurasa bisa masuk ke perutku. Sisanya, meh. Ayam geprek yang tiga perempatnya terbuat dari tepung, soto ayam hambar, bento jadi-jadian hasil mencontek KFC. Lebih baik aku sekalian pesan bento HokBen dengan Go-Jek lima belas menit sebelum bel makan siang berbunyi dan menjemputnya di operator lobi.

Tawa Raynhart terputus ketika melihatku menatapnya dengan mata yang sengaja dikerjap-kerjapkan. Dia mengacungkan tangannya pada Brendan dan menyelinap melalui kerumunan siswa yang sedang mengantre di konter martabak. "Hei," katanya, setengah berbisik. "Ada apa?"

"Inilah saatnya," aku memutuskan melalui gigiku yang mengatup.

"Saatnya apa?" Raynhart tampak kebingungan.

"Saatnya BERAKSI, Raynhart!" Aku hampir-hampir meremas kebab-ku yang masih terbungkus kertas roti. "Ada Rani! DAN Kevin! INI-lah saatnya kamu menunjukkan isi dompetmu kepada seluruh dunia!"

Raynhart meringis sambil mengusap-usap tengkuknya. "Mereka mungkin sudah tahu isi dompetku seperti apa."

"BUKAN begitu maksudku!" Aku menggerak-gerakkan jemariku di sekeliling kepalanya, gemas. "Cepat. Traktir Rani wafer keju! Atau tanya dia mau beli apa! Mumpung ada Kevin di depan hidungnya! Bilang saja kalau kepengin uangmu diganti. Itu urusan belakangan."

"Oke, oke!" dia menghentikanku, sedikit panik. "Oke. Demi kamu—"

Raynhart menghela napas tajam.

"—akan kulakukan."

Aku mendengus. "Good boy."

"Apa?" katanya.

"Apa?" kataku.

"Oke, oke!" katanya lagi. "Aku ke sana sekarang!"

Raynhart melompat-lompat sebentar sebagai pemanasan sebelum akhirnya memelesat menuju Rani yang sedang mengantre di konter dua, alias konter ayam geprek kesayangan Kevin. Jemariku mengepal. Kulihat kedua bola mata Rani membulat ketika Raynhart menepuk bahunya dan mencondongkan tubuh lebih dekat padanya. Mulutnya membuka dan menutup, persis ikan koi yang mendengar gemerisik kaleng pelet. Namun, akhirnya, dia mengangguk dan membiarkan Raynhart melunasi tagihannya yang tidak seberapa itu.

Sejenak senyumku merekah melihat perubahan air muka Kevin yang berdiri menjadi latar belakang. Kedua alisnya terbelah. Ujung-ujung bibirnya berkerut ke bawah.

Dia meredup.

Tetapi euforia sesaatku runtuh begitu mendengar gemuruh sorak-sorai yang menggelegar memenuhi langit-langit kafetaria.

Seruan, jeritan, suitan, masing-masing pecah dan berdesing mengiris gendang telingaku seperti roket. Aku memandang ke kiri dan kanan dengan linglung, persis penjahat yang menyadari dirinya telah kalah di akhir peperangan setelah melalui optimisme yang berlebihan. Semuanya terjadi begitu cepat. Tangan-tangan terangkat di udara. Siulan lepas di mana-mana. Hanya aku, Brooklyn, Brendan, dan Agatha yang masih plonga-plongo seperti orang tolol.

Suplai oksigen di sekitarku seakan menguap ketika aku mencoba menarik napas.

Aku tidak memikirkan yang ini.

Aku tidak memperhitungkan yang ini sama sekali.

Kurasa, di sini, akulah orang tololnya.

"UHUY! AKHIRNYA! SUDAH RESMI, NIH?"

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang