It's The Hard-Knock Life (Only Not When You're A Foster Kid)

450 62 56
                                    

(Jumat, 1 Februari 2019)

Jumat pertama di bulan Februari.

Satu-satunya hari dalam seminggu ketika Dean mengizinkanku menyetir Jeep Rubicon-nya ke sekolah dan meninggalkan Chevy jadulku di rumah. Aku menyetir sambil bernyanyi keras-keras, menikmati alunan musik alternatives yang berkumandang dari spiker. Tenang, aku sudah pro menyetir. Menyetir justru memberikan injeksi semangat tambahan bagiku.

Lagi pula, aku bernyanyi bukan tanpa alasan. Ini Jumat, yang berarti St. Patrick, dan seluruh sekolah yang memberlakukan full-day school atau jika perlu kuperhalus program lima hari sekolah, dijadwalkan pulang lebih awal. Hore! Aku tidak peduli jika pengurangannya hanya satu jam lima belas menit sekalipun, yang terpenting aku bisa cepat-cepat pulang dan memeluk bass-ku sebelum akhirnya bersiap-siap menyambut akhir pekan yang menyenangkan.

Aku menyalakan sein dan menurunkan jendela, lalu menukarkan dua keping seribu dengan selembar karcis parkir pada petugas yang berjaga di Hanggar, area parkir terbatas yang didedikasikan secara khusus untuk siswa dan pengajar St. Patrick. Aku memutar kemudi dengan fasih, sengaja memilih petak parkir yang diapit dua mobil. Setelahnya, aku menyambar ransel dari kursi belakang dan menutup pintu pengemudi dengan telunjukku.

Dan, akhirnya, sekolah.

Aku melompati genangan air yang menjamur di sepanjang trotoar. Jejak hujan semalam belum surut. Air menetes-netes di kanstin. Lampu lalu lintas berkilauan di ujung jalan. Aku berbelok dari jalan raya, memasuki kompleks sekolah menengah atas yang bisa kubilang lumayan besar, tetapi tidak terlalu mencolok lantaran bangunan-bangunannya yang tua dan gerbang-gerbangnya yang menjulang. Aku menyelinap melalui gapura kecil yang menghubungkan trotoar dengan lobi sekolah, cepat-cepat naik ke lantai empat sebelum bisa-bisa disemprit anggota MPK yang paling anti dengan tali sepatu warna-warni.

Seperti hari-hari sebelumnya, aku selalu menjadi orang pertama yang tiba di kelas. Aku mengaktifkan penerangan, menghapus papan tulis, dan menyalakan pendingin meski semalam hujan deras. Sebelum ada yang melihat, aku mencemplungkan remote pendingin ke kolom mejaku, tidak lupa memasang wajah tidak berdosa—bersiap-siap melakoni peran sebagai cewek nolep yang mustahil nyolong remote pendingin karena kesal pada teman-teman sekelasnya yang gampang menggigil.

"Jadi, kamu yang selama ini nyembunyiin remote AC-nya?"

Aku terperanjat ke belakang.

Dari arah pintu, seseorang berdiri mengamatiku. Dia melepas kacamatanya dan mengelap lensanya yang berembun dengan lengan kemeja, kemudian memakainya lagi sambil berdecak. "Aku hampir mikir kelas ini AC-nya nyala dua puluh empat jam gara-gara remote-nya hilang," Erick berkomentar. Dia memasuki kelas seraya mencopot masker sekali pakainya, menempati kursinya di belakangku. "Bagus, deh. Biar kelas ini nggak mau ketek lagi."

"Tetap saja bau ketek kalau habis olahraga," aku terkekeh.

"Kamu selalu datang sepagi ini, ya?" Erick bertanya. Meski kedua telinganya tersumpal earphones, aku tahu dia tetap menunggu jawaban dariku. "Padahal aku sudah sengaja bangun pagi. Tetap saja kamu yang datang duluan."

"Mau kamu datang jam empat juga aku pasti datang duluan."

"Masa?"

Yah, begitulah percakapan kami setiap pagi. Tidak ada yang terlalu istimewa. Hanya pembicaraan antara dua orang yang tidak bisa hidup tanpa pendingin. Tidak ada yang romantis-romantis juga.

Sebentar, sebentar.

Kurasa aku lupa memberitahu kalau aku sudah memiliki pacar.

Tunggu saja, sebentar lagi dia mungkin akan mun—

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang