Beautiful Girls

159 31 17
                                    

Kapal luar angkasa Raynhart berkelap-kelip dalam gelap. Sayap kanannya penuh oleh komputer, meja kerja, lemari, dan televisi layar lebar. Sedangkan sayap kiri seluruhnya disita untuk ranjang raksasa yang membuatku kepengin merebah dan melakukan semua kegiatanku di sana. Aku cukup yakin ranjang itu cukup memuatku, bass-ku, Macbook-ku, dan beberapa kotak piza.

"Bagaimana menurutmu?" Pertanyaan Raynhart menyadarkanku yang segera menjauhkan tangan dari bola basket yang tergeletak di kaki ranjang. "Kamu suka kamarku?"

"Suka. Banget." Wajahku bersemu merah. "Kamarmu besar sekali. Sudah seperti serumah dijadikan satu." Aku menghampiri meja kecil di sisi tempat tidur. Ada teko kaca, gelas keramik, dan beberapa bungkus krimer yang berserakan di atasnya. "Kamu suka bikin kopi?"

"Gak. Itu pajangan. Jangan diseduh. Mungkin sudah kadaluwarsa." Aku mencebik. Ya, iya, lah. Sejak kapan Raynhart suka ngopi? "Kamu boleh duduk di kasur kalau capek. Anggap saja seperti kasur sendiri." Dia mengerling. "Nggak usah takut ngacak-ngacak seprainya."

"Makasih," gerutuku. "Dari tadi memang sudah pengin kuacak-acak."

Aku melemparkan tubuhku ke kasur Raynhart dan melipat kedua lenganku di tengkuk. "Kupikir kasurku di rumah sudah yang paling nyaman, ternyata masih ada yang lebih nyaman." Kutepuk-tepuk bantal yang kutiduri dan mulai memejam. "Apa kasurmu di rumah satunya seperti ini juga? Kenapa kamu nggak tidur di sini saja?"

"Hm?"

Aku mengintip melalui sebelah mataku.

Kemudian menjerit.

"Aduh," kata Raynhart. "Jangan teriak-teriak, dong."

"Kamu nggak pakai baju!" aku protes.

"Kamu, kan, sudah pernah lihat?" katanya, membela diri.

"Tapi jangan duduk di kasur!"

Raynhart menatap ranjangnya.

"Ini, kan, kasurku?" dia berujar bingung.

Tubuhku memerosot ke ubin, sebisa mungkin menghindarkan mataku dari pemandangan tubuh cekingnya. Sadar, Keith, sadar! Ini masih sore! Tubuh Raynhart juga tidak sebagus itu! Dia perlu dilatih Dean terlebih dahulu sebelum memperoleh tubuh ideal bak binaragawan! Keterlaluan jika aku menganggap perut cekung dan tonjolan tulang rusuk Raynhart seksi.

"Mending kamu cepat-cepat pakai baju, nggak enak dilihat," kataku, mulai uring-uringan. "Rasanya aku mulai klaustrofobia."

"Fobia Sinterklas?"

Aku menembakkan karet rambutku ke perutnya.

"ADUH!" Nahas, sebab bidikanku tepat mengenai rusuknya. "Sakit!" Dia mengusap-usap kulitnya yang berangsur memerah. "Itu karet apa, sih? Kok, ada gioknya?"

"Cepat pakai bajumu," suruhku.

Raynhart melipat bibirnya ke dalam, kemudian beranjak dan menghampiri lemarinya. Lama dia berdiam, sampai-sampai aku tidak tahan sendiri melihat kelakuannya ketika akan memilih pakaian. Dia, kan, tidak ke mana-mana. Buat apa lama-lama berpikir mau pakai baju yang mana? "Tuh," aku menyarankan. "Jersey-mu. Yang warna hitam."

"Oh, ya." Dia mengambil jersey yang kumaksud dari gantungan dan memakainya. "Sudah lama aku nggak pakai jersey ini. Baunya jadi seperti bau kapur barus."

"Aku suka," cetusku.

Raynhart melirikku penuh makna. "Kalau suka kenapa selalu banyak alasan kalau disuruh jadi suporter DBL?"

Aku mengedik. "Aku nggak suka bersaing."

"Kamu nggak perlu bersaing, Keith," erangnya.

"Setelah kita jadian pun sebenarnya masih ada banyak sekali tuntutan untuk bersaing." Aku mengetuk-ngetukkan telunjukku pada pelipis. "Tapi aku nggak pernah mau bersaing. Lebih baik aku mengalah." Kemudian, aku menembakkan telunjukku padanya. "Ladies first."

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang