Drop It Like It's Hot (With No Exclamation Mark)

167 29 15
                                    

(Kamis, 21 Februari 2019)

Jangan tanya apa jawabanku.

Jawabanku sudah jelas sekali.

Intinya, kemarin adalah salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupku. Persetan Erick dan Akbar, aku punya Raynhart yang siap melindungiku kapan saja. Suasana hatiku sedang melambung tinggi di awang-awang, dan tidak ada seorang pun yang bisa merusaknya.

Hingga kemarin sore, band kami telah menambahkan dua lagu ke daftar putar: Boom! Dan These Days. Tersisa dua slot. Brendan bilang kami tidak perlu terburu-buru memikirkan lagu baru, ikuti saja arusnya selagi menyempurnakan lagu-lagu yang telah kami latih dua minggu ini. Aku sepakat, semakin kagum atas dedikasi Brendan dan ketenangannya sebagai leader. Aku sendiri tidak terlalu mempermasalahkan hari H pesta raya yang tinggal hitungan minggu. Aku siap bermain kapan saja, arogansi yang telah kuimpikan sejak pertama kali menyentuh bass. Cukup berikan aku bass dan sepasang setelan yang keren, maka akan kuguncangkan seluruh auditorium dengan keterampilan jemariku.

Tapi ada satu hal yang masih menghantuiku sejak detik kemunculannya.

Rani belum sepenuhnya pulih dari kejadian di ruang musik beberapa hari lalu. Dia masih menatapku dengan kesenduan yang sama, seakan sedang mencoba bernegosiasi melalui telepati—yang sayangnya gagal, sebab aku memilih untuk pura-pura tidak menyadari ekspresi terluka di wajahnya. Aku tahu Raynhart menyukaiku, dan aku tidak memiliki alasan untuk mengalah begitu saja darinya. Aku memberi Raynhart banyak sekali kesempatan, dan, di akhir, dia tetap memilihku. Aku tidak pernah merasakan kepercayaan diri yang sebegini besar, tetapi itulah salah satu hal yang kusukai dari Raynhart: dia selalu membuatku merasa berada di atas angin, dan sekadar Rani tidak akan mengubahnya.

Sebelum berlakunya peraturan penggunaan busana adat Oktober lalu, aku hanya memiliki satu stel kebaya brokat yang nyaris tidak pernah kugunakan. Aku sempat memakainya sekitar satu atau dua jam selama sesi pengalungan dan foto bersama di acara perpisahan SMP, tetapi mesti rela melepasnya serta-merta dengan riasan di wajahku karena aku harus tampil dengan bass bersama teman-temanku yang sialnya cowok semua—mereka tidak perlu menghapus riasan dan cukup melepas jas serta dasi, betapa menyenangkan. Aku pun sengaja membeli kebaya kain biasa untuk hari Kamis demi kenyamanan belajar, kebaya yang telah ku-laundry dan kugunakan berulang kali sampai-sampai kainnya mulai memelar dan memudar.

Tetapi, hari ini, kuputuskan untuk keluar dari batasan yang telah kutetapkan.

Aku akan memakai kebaya brokat itu.

Agatha yang pakai celana dan terbiasa menunggangi motor trail saja bisa memakai kebaya brokat yang panasnya minta ampun, masa aku yang menyetir mobil dan pakai rok tidak? Baiklah, dia memang tidak pernah menyetir motornya setiap Kamis, dia menumpang di R8 Brooklyn yang dingin dan seksi. Tapi, tetap saja. Aku tidak ingin mempermalukan Raynhart dengan penampilan kumalku, setidaknya untuk hari ini. Akan kutunjukkan kalau Chevy dan koleksi sneakers-ku bukan pajangan belaka. Aku bisa berdandan dan menjadi cewek idaman yang selalu disinggung-singgung Giselle.

Aku tiba sedikit lebih terlambat daripada biasanya. Sesuai ramalan, tidak ada tanda-tanda kehadiran Erick, dan menurutku itu bagus. Aku sedang tidak berminat berbasa-basi dengannya, lebih-lebih setelah apa yang terjadi kemarin. Mulai hari ini, dan seterusnya, hanya akan ada aku dan Raynhart. Dan Brendan. Dan Giselle. Dan Agatha. Dan Brooklyn juga, kalau-kalau dia ingin bergabung.

Aku menaruh ransel dan menekankan airpods ke telingaku, menggulirkan laman Spotify untuk mencari lagu yang sekiranya bisa kumainkan dengan bass-ku di rumah—atau pesta raya, entahlah. Aku akhirnya menyerah dan memutuskan untuk menekan opsi shuffle ketika tersadar aku telah menghabiskan tiga menit penuh hanya untuk menggulirkan daftar lagu di akun Spotify-ku.

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang