Kevin bosan ke Starbucks, jadi dia mengajakku ke J.Co, yang menyatu dengan Roppan dan BreadTalk, dan jauh lebih sepi karena pengunjung-pengunjung Level 21 hanyalah pelajar dan mahasiswa yang bergantung pada promo—kecuali/termasuk aku.
Di dalam tidak sedingin Starbucks, namun cukup lengang sehingga kami tidak kesulitan mencari tempat duduk. Kevin menaruh bakinya di meja panjang yang menghadap ke jalan raya Teuku Umar, sesuai permintaanku. Aku sedang tidak ingin sok romantis dengan menduduki sofa apak yang hanya diterangi dua buah bohlam lima watt. Gawat kalau kami direkam dan di-viral-kan di infodenpasar. Sudah viral, viral bareng Kevin pula. Bonus kalau kami dikira pasangan mesum.
"Siapa?"
Pertanyaan itu terlontar bahkan sebelum bokongku menyentuh permukaan kursi.
"Siapa siapa?" Aku berlagak bodoh, kemudian meneguk Thai tea yang kupesan dan mendesah. "AH. Akhirnya. Sesuatu yang manis. Setelah berminggu-minggu nge-date full kafein."
"Teh juga ada kafeinnya, Keith."
"Aku tahu," aku menukas. "Tadi, kan, aku bilang full."
"Siapa yang mengirim bunga-bunga itu?"
Aku mengedik. "Mana kutahu?"
Kevin menyipitkan matanya.
"Yakin bukan kamu?" aku terkekeh sarkastis, setengah mengejek. "Ya, sih. Mana mungkin juga kamu rela keluarin duit sebanyak itu. Cokelatnya, anggap saja, dua ratus ribu. Tambah buket bunga, sudah lima ratus ribu—"
"Keith."
Secara instingtif, aku sudah akan mengajak Raynhart bertos atas keberhasilan rencana kami, meski aku tidak tahu di mana keberadaan cowok itu saat ini. Sudah pulang, mungkin. Atau mungkin sedang nongkrong bareng kakaknya. Tidak penting. Yang terpenting, dia berhasil. Aku berhasil. Sekarang suasana hati Kevin memburuk, dan dia mencoba menyamarkannya dengan berpura-pura penasaran dengan cokelat dan bunga yang nyasar di mejaku. Baiklah. Barangkali dia memang betulan penasaran. Namun, tetap saja. Dia tidak mungkin se-bete ini kalau Raynhart tidak memberi Rani bunga, kan?
"Pasti Erick, kan?"
"Wahaha!" Hampir saja aku menyemburkan Thai tea-ku. Mereka ini sebenarnya kenapa, sih? Apakah di kehidupan sebelumnya mereka semacam musuh bebuyutan yang gugur bersamaan di medan perang dan memiliki dendam yang belum terselesaikan? "Kok, bisa Erick, sih? Kamu punya masalah apa sama dia, sebenarnya? Gak. Bukan Erick. Dia sendiri ngetawain—"
Aku berhenti.
"Ngetawain apa?" Kevin mendesak.
"Ngetawain... bunganya," aku mendeham. "Dia ketawa ngelihat aku dikasih bunga segede gaban. Dia kira nggak ada yang naksir aku." Memang nggak ada, sih. Kevin saja. Sudah kubilang, yang bisa menyukaiku hanya orang-orang terpilih.
Kevin menjilati microfoam yang menggenangi cappuccino-nya. Aku menjengit ketika melihat setitik micorofam tertinggal di sudut bibir cowok itu. Sekali lagi, aku sedang tidak ingin sok romantis dengan mengusap microfoam menjijikkan tersebut dengan ibu jariku. Aku memayungi mataku dengan telapak tangan, memilih untuk memusatkan pandangan ke jalan raya.
"Raynhart..."
Kurasakan ritme jantungku berubah ketika Kevin menyebutkan nama itu.
"Dia masih single, ya?"
"Kenapa?" tanyaku, defensif. "Naksir?"
Kevin tersenyum. "Cuma nanya." Kemudian dia melirikku. Jemariku mencengkeram lutut. Keringat membanjiri garis-garis tanganku. "Selama ini kalian ngobrol apa saja? Kalau lagi duduk berdua."
KAMU SEDANG MEMBACA
We Suck At Love
Novela JuvenilKeith, si bassist nolep, akhirnya menerima tawaran untuk melengkapi band yang akan tampil di pesta raya St. Patrick yang keenam puluh lima. Semuanya terasa seperti mimpi indah, sampai akhirnya Keith tahu dia akan dijadikan satu band dengan Rani, san...