Hold On

123 25 0
                                    

Gerbang dibuka pukul sembilan, dan setelah membawakan lagu Boys Like You, kami dipersilakan beristirahat selama satu jam.

Aku menggunakan kesempatan itu untuk berjalan-jalan dan membeli camilan banyak-banyak. Kue beras, ayam popcorn, Chatime—yang ini dibelikan Brendan, tidak kusangka dia sungguh-sungguh menepati janjinya. Giselle menghilang, barangkali terdampar di suatu tempat di festival. Festival ini terlalu besar. Truk-truk makanan dan minuman berjejalan di sepanjang jalan, menyulitkan segelintir pengendara motor yang nekat melintas. Siswa-siswa dengan pakaian bebas berkeliaran, sehingga mustahil bagiku untuk mendeteksi apakah mereka masih SMP, SD, atau TK ketika kami tidak saling mengenal.

Aku bertemu dengan Agatha di poin festival. Dia sendirian, tanpa Brooklyn. Di tangannya terdapat berbagai kemasan permen jeli dan brosur-brosur sponsor. "Hai! Ketemu lagi," Agatha nyengir, terlihat kewalahan mendekap barang bawaannya sendiri. "Bagaimana penampilanmu, Keith? Berhasil? Aku cuma menonton yang pertama. Kukira kalian baru tampil lagi nanti siang."

Brooklyn pasti kecewa, tetapi kurasa itu bukan masalah besar karena setidaknya Agatha ada dan datang.

Iblis Keith: Bersabarlah sedikit, dasar cewek bebal.

Malaikat Keith: Mungkin sebenarnya kamu tidak sejahat itu.

"Begitulah," kataku. Aku menatap barang bawaannya. "Siapa yang makan permen sebanyak itu?"

"Aku," katanya. "Nanti kutaruh di rumah. Tadi aku beli Froster, tapi sudah habis."

Dia mengajakku duduk di trotoar depan SMP. Kendaraan melaju tanpa memedulikan perayaan akbar yang tengah digelar di balik dinding St. Patrick. Tapi aku yakin cepat atau lambat mereka akan peduli. Jalan raya ditutup untuk perarakan sore nanti. Setidaknya, kami pasti masuk infodenpasar atau denpasarnow. Publikasi sudah menyiapkan beberapa unit drone dan kamera untuk merekam, aku yakin hasilnya pasti tidak amatiran. Aku membuang gelas Chatime-ku ke bak sampah dan berusaha untuk tidak mengotori jins-ku yang masih gres.

"Jadi," Agatha memulai. "Apakah Raynhart baik-baik saja?" Rasanya seolah ada pisau yang menancap tepat di tempurung kepalaku. "Kalian nggak bertengkar atau semacamnya, kan?"

"Nggak. Syukurlah." Hanya sedikit redup. "Raynhart nggak datang. Tapi aku mengerti itu karena dia tidak ingin berurusan dengan St. Patrick lagi. Sudah cukup waktu itu dia dituduh yang macam-macam. Lebih baik dia tidur di rumah daripada menghadiri perayaan sepele semacam ini."

Agatha terkekeh. "Raynhart nggak sekejam itu."

"Aku tahu." Tapi, siapa, sih, yang tidak kesal dituduh, dipermalukan, dan diadili bahkan hingga berujung detensi? Jangan jauh-jauh, deh. Kalau aku jadi Raynhart, aku juga ogah menyia-nyiakan waktuku di sini.

"Aku turut berduka untuk kalian," Agatha berujar pelan-pelan. "Aku sudah dengar soal pagi itu, soal Giselle dan Rani. Raynhart bilang dia kalah taruhan dan disuruh pura-pura mendekati Rani, padahal dia nggak pernah ikut taruhan apa-apa." Memang. Tidak pernah ada taruhan. Hanya janji iseng yang berujung pada malapetaka, dan akulah orang yang sesungguhnya bertanggung jawab atas semua itu. Namun, di sinilah aku, menikmati lonjakan karierku sebagai bassist seolah tidak pernah terjadi apa-apa. "Kuharap beberapa minggu lagi mereka akan lupa dengan sendirinya."

Kuharap juga begitu.

"Raynhart pasti datang." Agatha menyentuh bahuku, membawaku kembali pada hari ketika aku dipanggil ke auditorium bersama Raynhart dan Brendan. Rasanya sudah lama sekali, padahal itu baru satu bulan yang lalu. Rupanya ada begitu banyak hal yang bisa terjadi dalam kurun waktu tiga puluh hari. Putus dengan mantan, pergi ke rumah pacar, makan siang gratis di Genteng Biru. Jangan lupakan orang-orang yang masuk dan keluar dari hidupku. Kevin, Agatha, Brendan, Brooklyn, Erick. "Dia mungkin sudah di basemen, atau di auditorium. Siapa yang tahu?"

Tidak ada, dan kurasa aku tidak perlu mencari tahu. Kebenaran hanya akan menyakitiku. Aku masih memerlukan kebahagiaan itu untuk terus bermain hingga matahari terbenam. Lagi pula, mengutip Agatha tadi pagi, ini bukan akhir dunia. Jika Raynhart tidak datang, kami tetap saja akan bertemu minggu depan. Duduk seperti biasa. Mengobrol seperti biasa. Hal-hal yang kami lakukan jauh-jauh hari sebelum persiapan pesta raya. Aku tidak perlu mengorbankan kesenanganku hari ini untuk memikirkan Raynhart. Biarlah Raynhart menenangkan dirinya. Hitung-hitung sebagai penebusan rasa bersalahku karena tidak menyangkal kebohongannya dan justru bergeming macam patung lilin.

"Agatha," panggilku.

"Kenapa, Keith?"

"Makasih," ucapku.

"Makasih?" Dalam hati aku berpikir, oh, jadi begini rupanya ketika sedang salah tingkah. "Makasih untuk—?"

"Yang di perpustakaan."

Dari caranya mengerutkan alis dan mengalihkan pandangan, aku tahu dia sudah melupakan hari itu. Jadi, aku pun berbaik hati mengingatkannya dengan memberikan petunjuk, "Lukas dua puluh tiga." Supaya dia tidak perlu berlama-lama memeras otak. "OH," Agatha tertawa. "Sama-sama. Kamu, kan, teman Raynhart. Sudah semestinya aku membantumu."

Aku tersenyum kecut. Andai Agatha masuk St. Patrick lebih awal, aku tidak perlu mengaku nolep hanya karena tidak memiliki teman selain Giselle. "Sudah jam sepuluh." Aku menyentil smartwatch-ku. "Sepertinya aku harus kembali ke auditorium." Betapa aku berharap bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Agatha. Sayang sekali, aku harus kembali ke belakang panggung dan mengamankan bass-ku. Aku tidak menginginkan adanya sabotase lain. "Gerbang sudah dibuka. Maaf kalau habis ini pacarmu jadi agak..."

Kepalaku meneleng, dan tawa kami pun meledak.

"Nggak apa-apa," Agatha menyeringai. "Aku malah suka melihat Brooklyn stres karena serangan penggemar." Aku tertawa lagi. Dasar masokis. "Oh, ya, Keith. Satu lagi..."

Aku memasang wajah siap mendengarkan.

"Tahan sebentar," dia menyelesaikan. "Karena kalau Raynhart bisa, semestinya kamu juga."

Ada beberapa pertanyaan di dunia ini yang sangat ingin kuketahui jawabannya, namun tidak ingin kutanyakan penyebabnya. Pertanyaanku tentang kalimat Agatha adalah salah satunya. Aku tidak repot-repot mengernyit dan menanyakan, "Apa?" Yang kutahu, aku sudah mengangguk dan mengayun langkah menuju auditorium. Tetapi, dua langkah berselang, aku teringat sesuatu yang luput kusampaikan padanya dan berbalik. Kulihat dia sedang merobek kemasan permen jelinya, salah satu kombinasi yang tidak pernah kukira ada di dunia ini.

"Agatha," aku memanggilnya lagi.

"Ya?"

"Ada salam," kataku.

Permen jeli melayang beberapa senti dari mulutnya.

"Siapa?" Matanya membesar.

Aku tertawa. "Temanku."

"Siapa?" desaknya.

Berbahagialah Giselle. Sebab, lebih baik dari dua hottie rekan band-ku, aku menyampaikan salamnya kepada seseorang yang nama belakangnya dia sensor di kartu ucapan yang kini terlipat di saku belakang celana jins-ku. Aku menyipitkan sebelah mataku pada Agatha dan mulai berjalan mundur menuju bangunan SMA.

"Pokoknya, temanku."

***

Posted on: November 13, 2021.

We Suck At LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang