Sesuai perjanjian, latihan dipindah ke ruang musik selama lampu-lampu di auditorium diperiksa dan dibenahi. Kabar baiknya, aku jadi lebih mudah menentukan lagu setelah tertimpa lampu ellipsoidal raksasa yang barangkali sedang menunggu ajalnya di tempat pembuangan. Hingga saat ini, kami telah menetapkan enam lagu untuk ditampilkan: Colour, ILYSB, Boys Like You, It Was Always You, Heartbeat Song, dan Both of Us.
Semuanya kupilih sendiri sambil membayangkan suara Rani yang sedikit mendayu-dayu, mirip suara monoton wanita yang biasanya mengumumkan jadwal keberangkatan di stasiun atau bandar udara—kejauhan, bel otomatis di St. Patrick juga bunyinya begitu semua.
Aku merasa seperti superstar ketika siangnya memasuki lobi dengan bass di tangan kanan dan segelas McFlurry di tangan kiri—sesuai kata pepatah, di mana ada KFC, di situ ada McD (cari saja Jalan Sudirman, Denpasar di Maps kalau tidak percaya). Semuanya menoleh kepadaku tanpa terkecuali, untuk pertama kalinya membuatku merasa diperhitungkan. Aku menaruh bass-ku di ruang musik, alias tempat pengungsian pasca bencana, sebelum mulai menyendokkan McFlurry yang manis dan dingin ke mulutku—katanya, makan yang manis-manis ampuh melonjakkan mood dan mempertajam fungsi otak.
Raynhart baru datang setelah McFlurry-ku tersisa tiga perempatnya. Dia mencampakkan ranselnya ke ubin berlapis karpet dan ikut-ikutan meleseh bersamaku. "Kamu ngapain?" tanyaku. Dia membuka mulutnya. "Mau es krim?" Dia mengangguk. Aku menyodorkan gelas McFlurry-ku padanya. Sebenarnya aku tidak terlalu lapar, aku hanya sedikit pusing. Kalau dia mau, dia boleh menghabiskan McFlurry-ku. "Nih. Makan yang banyak. Supaya nggak loyo main drum-nya."
Dia menggeram.
Mulutnya membuka semakin lebar.
Aku mendecak. "Mau disuapin?"
Dia mengangguk lagi.
Aku memutar bola mataku. Dasar bayi besar. "Ya, sudah. Buka mulutmu—lebih dekat—AAA—"
Kujejalkan setengah isi gelas McFlurry-ku ke mulutnya, serta-merta dengan sendok plastik yang merangkap pengaduk.
"UHUK!" Raynhart terbatuk. Sekujur leher dan pipinya memerah. "Pelan-pelan, dong!"
Aku terkekeh. "Itu karena sudah minta disuapin di jam sekolah."
"Jam sekolah?" desahnya. Dia mengecek arlojinya. Aku mengecek smartwatch-ku. Sudah pukul empat lewat lima belas. Semestinya latihan sudah dimulai, tetapi Brendan masih menyantap makan siangnya di luar—gudeg komplit dengan krecek mercon yang membuat mukanya meler tidak keruan. "Ini sudah setengah jam sejak bel pulang sekolah. Ini sudah bukan jam pulang sekolah lagi."
"Ruangan ini ada CCTV-nya, Rayn," aku memperingatkan, menunjuk kamera pengawas yang terpasang di dua sudut langit-langit dengan gerakan yang tidak terlalu kentara. "Kamu mau kita dipanggil Bu Ratna ke ruang kesiswaan gara-gara dikira lagi mojok?"
"Apa, sih, sebenarnya arti MOJOK?" dia mengomel. "Mojok, ya, duduk di POJOK, bukan berbuat yang aneh-aneh."
"Tapi, kan, berbuat yang aneh-aneh biasanya harus nyari tempat yang agak mojok," aku berpendapat.
Raynhart melepaskan blazernya. Pipinya memerah, tetapi aku yakin itu bukan karena dia baru saja tersedak. Aku menyipitkan mataku. Melepas blazer setelah membicarakan MOJOK dan ANEH-ANEH. Sedikit mencurigakan.
Iblis Keith: Sepertinya dia menginginkan sesuatu darimu.
Malaikat Keith: Ya Tuhan, jangan lagi.
Keith Sawa: Kumohon datanglah dengan solusi. Aku tidak butuh perdebatan. Aku sudah cukup banyak berdebat belakangan ini.
Iblis Keith: Aku selalu datang dengan solusi. Tidak seperti wijen menyebalkan di sebelahku yang hanya bisa melarang, melarang, dan melarang—
Malaikat Keith: Aku hanya berusaha melindungimu. Itu saja.
Keith Sawa: Sudahlah. Kalian hanya membuat kepalaku penuh.
"DOR!"
"HAH!" Aku terlonjak.
Raynhart terbahak. "Kamu ini kenapa, Keith?" Dia menyentuh dahiku. "Ngelihatin aku, kok, sampai segitunya." Aku saja tidak sadar aku sedang ngelihatin Raynhart sampai segitunya. Dahiku diperiksa-periksa lagi seolah dia itu dokter anak yang sedang meresepkan ibuprofen. "Hm. Dahimu panas. Kamu sakit?"
"RAYNHART?!"
Suara melengking itu menyadarkanku bahwa sedari tadi, rupanya, aku menahan napas.
Raynhart menolehkan kepalanya patah-patah ke arah sumber suara tersebut.
Rani berdiri mematung di pintu ruang musik. Tatapannya melayang pada tangan Raynhart yang menempel di dahiku. "Kalian..."
Aku bisa melihat gumpalan seukuran bola pingpong yang melewati kerongkongannya.
"Kalian lagi ngapain?"
Raynhart menggulirkan bola matanya malas. "Kelihatannya?"
Aku membuka mulutku untuk protes, "Rayn—"
Raynhart meremas tanganku.
"A-aku nggak tahu kalian dekat," Rani tergagap.
"Aku juga nggak tahu kamu berdiri di sana," Raynhart membalas.
Rahangku mengencang. "Raynhart—"
Sekarang giliran lemak di perutku.
Rani mengerjap cepat, seperti berjuang mengusir pikiran-pikiran yang timbul di kepalanya. "Aku panggil Brendan dulu," katanya, kemudian berlalu dengan wajah terluka.
Aku melipat lenganku dan memelototi Raynhart dengan tatapan apa-apaan-ini-hah.
"Apa?" katanya, tidak terima. "Tugasku sudah selesai! Aku sudah bisa lepas darinya, kan?"
"Ini baru lima hari setelah kamu ngasih dia bunga dan Ferrero Rocher!" aku mendesis.
"Setelah kamu ngasih dia bunga dan Ferrero Rocher?" dia balas mendesis. Aku menepuk dahiku. Sudah kuduga memang tidak ada gunanya berdebat dengan Raynhart. Dia terlalu keras kepala untukku yang selunak daging kepiting. "Ayolah, Keith. Orang-orang di sekolah mulai mengiraku naksir Rani. Sebelum mereka sungguhan mengiraku naksir Rani, aku harus berhenti memberinya perhatian."
"Seenggaknya tahan sebentar," aku memohon. "Aku harus..."
Aku harus menyelesaikan urusanku dengan Kevin terlebih dahulu.
"Sampai kapan?" Raynhart mendesak.
"Minggu depan," ujarku.
Lalu menjeda.
"Minggu depan," aku bernapas, "dan setelah itu kamu bebas."
Kami bebas.
Hanya satu kata, dan setelahnya, segala omong kosong ini akan berakhir.
***
Posted on: October 2, 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Suck At Love
Teen FictionKeith, si bassist nolep, akhirnya menerima tawaran untuk melengkapi band yang akan tampil di pesta raya St. Patrick yang keenam puluh lima. Semuanya terasa seperti mimpi indah, sampai akhirnya Keith tahu dia akan dijadikan satu band dengan Rani, san...